Badan Usaha Milik
Negara
Dari Wikipedia bahasa
Indonesia, ensiklopedia bebas
Badan usaha milik negara (disingkat BUMN) atau perusahaan milik negara merujuk kepada perusahaan atau badan usaha yang dimiliki pemerintah sebuah negara.
![]() |
Sumber referensi dari artikel atau
bagian ini belum dipastikan dan mungkin isinya tidak benar.
Tolong diperiksa, dan lakukan modifikasi serta tambahkan sumber yang benar pada bagian yang diperlukan. |
BUMN utama berkembang dengan monopoli atau peraturan khusus
yang bertentangan dengan semangat persaingan usaha sehat (UU no. 5 tahun 1999),
tidak jarang BUMN bertindak selaku pelaku bisnis sekaligus sebagai regulator. BUMN kerap menjadi
sumber korupsi, yang lazim dikenal
sebagai sapi perahan bagi oknum pejabat atau partai.
Pasca krisis moneter 1998, pemerintah giat
melakukan privatisasi dan mengakhiri berbagai
praktek persaingan tidak sehat. Fungsi regulasi usaha dipisahkan dari BUMN.
Sebagai akibatnya, banyak BUMN yang terancam gulung tikar, tetapi beberapa BUMN
lain berhasil memperkokoh posisi bisnisnya.
Dengan mengelola berbagai produksi BUMN, pemerintah
mempunyai tujuan untuk mencegah monopoli pasar atas barang dan jasa publik oleh
perusahaan swasta yang kuat. Karena, apabila terjadi monopoli pasar atas barang
dan jasa yang memenuhi hajat hidup orang banyak, maka dapat dipastikan bahwa
rakyat kecil yang akan menjadi korban sebagai akibat dari tingkat harga yang
cenderung meningkat.
Manfaat BUMN:
·
Memberi
kemudahan kepada masyarakat luas dalam memperoleh berbagai alat pemenuhan
kebutuhan hidup yang berupa barang atau jasa.
·
Membuka
dan memperluas kesempatan kerja bagi penduduk angkatan kerja.
·
Mencegah
monopoli pasar atas barang dan jasa yang merupakan kebutuhan masyarakat banyak
oleh sekelompok pengusaha swasta yang bermodal kuat.
·
Meningkatkan
kuantitas dan kualitas produksi komoditi ekspor sebagai sumber devisa,baik
migas maupun non migas.
·
Menghimpun
dana untuk mengisi kas negara ,yang selanjutnya dipergunakan untuk memajukan
dan mengembangkan perekonomian negara.
·
Memberikan
pelayanan kepada masyarakat.
Sekertariat
kementrian bumn




(Visited 9,266 times, 37 visits today) 

STRUKTUR ORGANISASI KEMENTERIAN BUMN
PEJABAT KEMENTERIAN BUMN
Struktur Organisasi dan Pejabat
Menteri
|
|||
Dahlan Iskan
|
:
|
Menteri Negara BUMN
|
|
Wakil Menteri
|
|||
Mahmuddin Yasin
|
:
|
Wakil Menteri Negara BUMN
|
|
Eselon I
|
|||
1
|
Wahyu Hidayat
|
:
|
Sekretaris Kementerian BUMN
|
2
|
Muhamad Zamkhani
|
:
|
Deputi Bidang Usaha Industri
Primer
|
3
|
Dwijanti Tjahjaningsih
|
:
|
Deputi Bidang Usaha Industri
Strategis dan Manufaktur
|
4
|
Harry Susetyo Nugroho
|
:
|
Pgs. Deputi Bidang Usaha
Infrastruktur dan Logistik
|
5
|
-
|
:
|
Deputi Bidang Usaha Jasa
|
6
|
Achiran Pandu Djajanto
|
:
|
Deputi Bidang Restrukturisasi dan
Perencanaan Strategis BUMN
|
7
|
Harry Susetyo Nugroho
|
:
|
Staf Ahli Bidang Tata Kelola BUMN
|
8
|
-
|
:
|
Staf Ahli Bidang Kebijakan Publik
|
9
|
Irnanda Laksanawan
|
:
|
Staf Ahli Bidang Sumber Daya
Manusia dan Teknologi
|
10
|
Bagus Rumbogo
|
:
|
Staf Ahli Bidang Hubungan Antar
Lembaga
|
Eselon II
|
|||
1
|
Imam Apriyanto Putro
|
:
|
Kepala Biro Perencanaan dan Sumber
Daya Manusia
|
2
|
Hambra
|
:
|
Kepala Biro Hukum
|
3
|
Purwanto
|
:
|
Kepala Biro Umum dan Humas
|
4
|
Bernardus Didik Prasetyo
|
:
|
Asdep Bidang Usaha Industri Primer
I
|
5
|
Sulwan SilondaE
|
:
|
Asdep Bidang Usaha Industri Primer
II
|
6
|
Sumyana Sukandar
|
:
|
Asdep Bidang Usaha Industri Primer
III
|
7
|
Seger Budiarjo
|
:
|
Asdep Bidang Usaha Industri
Strategis dan Manufaktur I
|
8
|
Gatot Trihargo
|
:
|
Asdep Bidang Usaha Industri
Strategis dan Manufaktur II
|
9
|
-
|
:
|
Asdep Bidang Usaha Industri
Strategis dan Manufaktur III
|
10
|
Timbul Tambunan
|
:
|
Asdep Bidang Usaha Infrastruktur
dan Logistik I
|
11
|
-
|
:
|
Asdep Bidang Usaha Infrastruktur
dan Logistik II
|
12
|
Wiranto
|
:
|
Asdep Bidang Usaha Infrastruktur
dan Logistik III
|
13
|
Purnomo Sinar Hadi
|
:
|
Asdep Bidang Usaha Jasa I
|
14
|
Ignatius Rusdonobanu
|
:
|
Asdep Bidang Usaha Jasa II
|
15
|
Sabdono
|
:
|
Asdep Bidang Usaha Jasa III
|
16
|
Sonatha Halim Jusuf
|
:
|
Asdep Restrukturisasi dan
Pengembangan Usaha
|
17
|
Chairiah
|
:
|
Asdep Pendayagunaan Aset dan
Sinergi
|
18
|
Upik Rosalina Wasrin
|
:
|
Asdep Pembinaan Kemitraan dan Bina
Lingkungan
|
19
|
Fadjar Judisiawan
|
:
|
Plt. Asdep Riset dan Informasi
|
20
|
Herman Hidayat
|
:
|
Inspektur
|
JAKARTA
- Pada Oktober 2011, tongkat komando atas perusahaan-perusahaan BUMN berpindah
dari Mustafa Abubakar ke tangan Dahlan Iskan. Dahlan diminta tidak hanya
membersihkan perusahaan BUMN dari praktik penyimpangan dan penyelewengan saja,
tapi juga mengemban tugas meningkatkan kinerja perusahaan BUMN dan perannya
bagi negara.
Sejak
resmi melanjutkan estafet kepemimpinan di Kementerian BUMN, Dahlan terus
menjadi sorotan. Beberapa pihak menilai positif kinerja Dahlan meningkatkan
performa perusahaan BUMN.
Tapi,
banyak pula yang menyangsikan prestasi Dahlan. Dahlan dituding lebih banyak
pencitraan dan beraksi bak koboi jalanan dibandingkan fokus membenahi dan
meningkatkan kinerja perusahaan BUMN.
Saat
ini, di bawah komando Dahlan, keberadaan dan perkembangan perusahaan negara
semakin positif. Terutama jika dibandingkan dengan kondisi di era orde baru di
bawah kepemimpinan Presiden Soeharto yang kental dengan nuansa militer.
Jika
menilik sedikit ke belakang, di masa orde baru tidak ada yang namanya
kementerian BUMN. Perusahaan negara berada di bawah pengawasan dan pembinaan
Departemen Keuangan (sekarang Kementerian Keuangan).
Menjelang
kejatuhan orde baru, Kementerian BUMN dibentuk. Itupun setelah memperhatikan
penting dan strategisnya peran perusahaan BUMN dalam roda perekonomian nasional
dan keuangan negara.
Sejak
dibentuk kementerian khusus, perusahaan BUMN pun dinilai semakin berkembang.
Tidak hanya jumlahnya yang semakin banyak. Perusahaan BUMN pun ada di hampir
semua lini atau sektor bisnis dalam negeri.
Merdeka.com
mencoba merangkum perbedaan-perbedaan kondisi perusahaan BUMN di era Soeharto
dan era saat ini, di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY). Berikut lima perbedaannya dari kacamata Ekonom Dawam Rahardjo.
Pada masa Orde Baru,
BUMN memang sudah cukup maju. Hanya saja, masih dipimpin birokrat dan jenderal.
Nuansa militer dan birokrat memang cukup kental di era Presiden Soeharto.
"Perusahaan besar
seharusnya dipimpin oleh orang profesional sehingga terjadi profesionalisme.
Walaupun mereka (pimpinan BUMN birokrat dan jenderal) ada yang berhasil,"
ucap Dawam dalam bedah buku, di Gedung Arsip Nasional, Jakarta, Selasa (4/6).
Ekonom Dawam Rahardjo
menyebutkan, ketika perusahaan pelat merah dipimpin oleh banyak orang politik
dan jenderal, maka secara tidak langsung perusahaan akan cenderung dekat dengan
kepentingan politik.
"Banyak perusahaan
dipimpin oleh jenderal-jenderal dan berpotensi ada politik terhadap BUMN,"
jelasnya.
Di era orde baru,
banyak stigma atau pendapat negatif terkait nuansa birokrat dan jenderal dalam
tubuh perusahaan negara. Perusahaan BUMN dinilai tidak akan menjadi
profesional.
"Ada stigma
mengatakan jika dipimpin birokrat dan militer dan produksi akan menurunkan
langsung produksi. BUMN tidak bisa jadi unit bisnis karena didukung orang yang
bukan profesinya," ujar Ekonom Dawam Rahardjo.
Stigma selanjutnya
mengenai kepemimpinan BUMN adalah menyebutkan kalau BUMN itu akan gagal jika
mengalami birokratisasi. Kapitalisasi para birokrat akan menghancurkan
perusahaan itu sendiri.
"Kemudian, BUMN
akan menjadi suatu kendaraan politik. Banyak stigma mengenai BUMN. Pimpinan
BUMN susah mengambil keputusan. BUMN hanya akan menjadi politik dan lembaga
sosial bukan jadi perusahaan," tutupnya.
Ekonom Dawam Rahardjo
mengakui, saat ini perusahaan pelat merah sangat inovatif. Dia juga memuji
kemajuan dan berbagai aksi perusahaan BUMN di bawah komando Dahlan Iskan.
Dia menyebut beberapa
perusahaan BUMN yang sangat inovatif dalam mengembangkan usahanya. Semisal PT
Pos Indonesia yang terus mengembangkan inovasi di luar bisnis intinya.
Dawam juga menyebut
inovasi yang dilakukan salah satu bank pelat merah yaitu Mandiri yang akan
memberikan layanan pinjaman kepada masyarakat daerah dengan mendirikan bank
sinar bersama PT Pos Indonesia dan PT Taspen.
"Jadi sekarang
tidak benar BUMN itu tidak bisa lakukan inovasi," katanya.
Saat ini, keberadaan
dan perkembangan perusahaan pelat merah atau perusahaan Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) dinilai telah melebihi cita-cita konsistusi. Dalam konstitusi
negara hanya diatur 3 bidang untuk BUMN yaitu menguasai hajat hidup orang
banyak, mengatur sumber daya alam, serta sebagai social protection atau sosial
instrumen.
"BUMN sebenarnya
sudah melampaui ketentuan konstitusi, konstitusi cuma mengatur 3 bidang itu.
Tiga itu saja tapi BUMN saat ini sudah melampaui itu," ucap Dawam.
http://www.merdeka.com/uang/5-perbedaan-kondisi-bumn-di-era-soeharto-dan-sby/menjawab-cita-cita-konstitusi.html



Undang-Undang dasar 1945mengamanatkan tentang pelaku ekonomi
nasional terdiri dari tiga bentuk badan usaha yang merupakan yaitu swasta,
BUMN dan koperasi. Badan Usaha Milik Negara BUMN adalah “kelanjutan”
dari perusahaan-perusahaan besar milik pemerintah dan swasta Belanda
yang beroperasi di Indonesia. Perusahaan-perusahaan ini sebagian
besarnya mengelola utilitas public.
Selain mengambil alih perusahaan Belanda, pemerintah juga
mendirikan perusahaan pelayanan public di jasa pengangkutan udara dan laut,
dan sektor perbankan. Garuda adalah perusahaan pelayanan public di jasa
pengangkutan udara, sedangkan pelni merupakan perusahaan pelayaran antarpulau
dan Djakarta Lyoid untuk pelayaran samudera.
Existensi BUMN ini dimuali dari nasionalisasi
perusahaan-perusahaan Belanda, yang menyebabkan terjadinya perubahan
fundamental dalam struktur perekonomian Indonesia. Akibatnya, terjadilah
nasionalisasi kepemlikan yang menyebabkan 90% produksi perkebunan, 60% nilai
perdagangan, 246 pabrik, perusahaan pertambangan, perkapalan, perbankan, dan
berbagai sektor jasa beralih tangan ke pemerintah Indonesia.
UU No 19 PRP/1960 tentang Perusahaan Negara merupakan
kebijakan mengenai BUMN yang pertama kali dibuat oleh pemerintah. Tahun
1967, terbitlah Inpres No 17/1967 tentang pengarahan dan penyederhanaan
Perusahaan Negara ke dalam tiga bentuk usaha Negara yaitu Perjan, Persero dan
Perum. Kebijakan lain yang memperkuat adalah UU No 9/1969 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 1/1969 tentang Bentuk-Bentuk
Usaha Negara, PP No 3/1983 tantang model pembinaan dan pengawasan BUMN dan
Inpres No 5 /1998 tentang pedoman penyehatan BUMN.
Berbagai kebijakan telah dibuat oleh pemerintah guna
meningkatkan kinerja BUMN, namun sayangnya kinerja BUMN cenderung memburuk
dari tahun ke tahun. Pada kurun waktu 1988 sampai dengan 1995, terjadi
kemerosotan produktivitas BUMN. Upaya penyehatan BUMN ditempuh dengan
cara mengucurkan dana segar kepada BUMN.
Sampai dengan tahun 1997, banyak BUMN yang terlibat di banyak
sector perekonomian nasional , dengan total asset sebesar Rp461,6 triliun.
BUMN yang berada di bawah pengawasan kantor Menteri Negara Pendayagunaan BUMN
adalah 160 BUMN, yang diantaranya 74 perusahaan atau 42,6% termasuk dalam
kategori baik dan baik sekali, sedangkan 53,8% dalam kategori kurang baik dan
tidak baik.
Antara tahun 1997-1998 kinerja BUMN di bawah pembinaan dan
pengelolaan lembaga pemerintah yang baru menunjukkan perbaikan dengan jumlah
BUMN yang sehat dari 82 bertambah menjadi 87, peningkatan pendapatan sebesar
155,2% dan laba usaha meningkat sebesar 207,1%.
Pada tahun 1998, dengan penjualan Rp 81,69 triliun BUMN mampu
mencetak laba bersih Rp 17,61 triliun. Tahun 1999, total asset BUMN adalah Rp
861.520 miliar dengan penjualan Rp 169.253,4 miliar dan laba setelah pajak Rp
14.271 miliar. Dengan penjualan Rp 169,25 triliun hanya mengkontribusikan
laba bersih lebih rendah yaitu Rp 14,27 triliun. Jika dibandingkan
dengan kinerja pada tahun 1998, maka pada tahun 1999 terjadi penurunan
prestasi.
Pada tahun 2000, terjadi penurunan laba bersih. Namun pada
tahun 2001, BUMN mampu mencetak laba bersih sebanyak Rp 18,8 triliun, 2002
sebesar Rp 26 triliun dan 2003 sebesar Rp 28 triliun. Pada tahun 2003 jumlah
BUMN yang sehat meningkat menjadi 128 BUMN.
Permasalahan lain yang dihadapi oleh BUMN antara lain meliputi
masalah organisasi, hukum dan good corporate governance, biaya dan pendanaan,
kemampuan penguasaan cross functional area, suku cadang dan entrepreneurship,
kepemimpinan, change manajement.
Reinvensi BUMN dapat menjadi solusi untuk mengatasi
problematika BUMN, karena BUMN adalah asset ekonomi bangsa terpenting.
BUMN berada pada sektor-sektor bisnis strategis dan mempunyai perputaran
bisnis yang signifikan. Bahkan ketika krisis ekonomi melanda Indonesia, BUMN
menjadi satu-satunya pelaku ekonomi nasional yang berpotensi untuk berperan
Empat konsep pokok untuk melakukan reinvensi BUMN yaitu
restrukturisasi, privatisasi, budaya korporasi dan kepemimpinan korporasi.
Sesuai dengn UU No 19 tahun 2003 tentang BUMN, retsrukturisasi adalah upaya
yang dilakukan dalam rangka penyehatan BUMN yang merupakan salah satu langkah
strategis untuk memperbaiki kondisi internal perusahaan guna memperbaiki
kinerja dan meningkatkan nilai perusahaan. Restrukturisasi dilakukan dengan
maksud untuk menyehatkan BUMN agar dapat beroperasi secara efisien, tranparan
dan professional. Program restrukturisasi bertujuan untuk meningkatkan
kinerja dan nilai perusahaan, memberikan manfaat berupa dividen dan pajak
kepada Negara, menghasilkan produk dan layanan dengan harga yang kompetitif
kepada konsumen dan memudahkan pelaksanaan privatisasi.
Sesuai Undang-undang Nomor 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha
Milik Negara, pengertian Privatisasi adalah penjualan saham Persero, baik
sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan
kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat,
serta memperluas kepemilikan saham oleh masyarakat. Berdasarkan pengertian
privatisasi tersebut maka Kementerian Negara BUMN mengenai privatisasi
adalah: Mendorong BUMN untuk meningkatkan kinerja dan nilai tambah perusahaan
guna menjadi champion dalam industrinya serta meningkatkan peran serta
masyarakat dalam kepemilikan sahamnya.
Sesuai pasal 74 Undang-undang 19 tahun 2003 telah ditetapkan
maksud dan tujuan Privatisasi. Maksud dan tujuan yang telah ditetapkan
Undang-Undang tersebut sekaligus menjadi misi memperluas kepemilikan
masyarakat atas Persero, meningkatkan efisiensi dan produktivitas perusahaan,
menciptakan struktur keuangan dan manajemen keuangan yang baik/kuat,
menciptakan struktur industri yang sehat dan kompetitif, menciptakan Persero
yang berdaya saing dan berorientasi global, dan menumbuhkan iklim usaha,
ekonomi makro, dan kapasitas pasar.
Program privatisasi bertujuan untuk meningkatkan kinerja dan
nilai tambah perusahaan serta meningkatkan peran serta masyarakat dalam
pemilikan saham Persero Privatisasi dilakukan dengan memperhatikan prinsip-
prinsip transparansi, kemandirian, akuntabilitas, pertanggung-jawaban, dan
kewajaran.
Privatisasi berkenaan dengan upaya untuk mengurangi peran
negara yang berlebihan di sector bisnis, khususnya dalam rangka menggerakkan
dan memberdayakan perekonomian masyarakat. Privatisasi bisa juga diartikan
sebagai upaya peningkatan akses terhadap pasar internasional, pendanaan,
teknologi, serta peningkatan kemampuan daya saing perusahaan. Budaya
korporasi berkenaan dengan pengembangan BUMN yang berbudaya, bukan hanya
manajemen yang professional namun juga budaya yang unggul. Sedangkan
kepemimpinan korporasi adalah sebuah keharusan untuk membawa BUMN ke kelas
dunia.
|
Persepsi masyarakat beranggapan apabila BUMN
adalah perusahaan negara yang dikelola oleh negara dan sekaligus menjadi sumber
pendapatan negara. BUMN tidak ubahnya seperti halnya korporasi atau swasta pada
umumnya. Permasalahan pokok yang dihadapi dalam pengelolaan BUMN saat ini
adalah kinerja (performance) intervensi non korporasi. Apapun permasalahan
tersebut, akan lebih baik mempertanyakan apakah BUMN sebaiknya merugi ataukah
didorong untuk menghasilkan keuntungan (laba)?
Terhitung hingga Desember 2010 terdapat sebanyak 141 perusahaan milik negara (BUMN) yang tercatat pada Kementrian BUMN. Data statistik keuangan dari laporan tahunan pada Kementrian BUMN menyebutkan apabila terhitung dari tahun 2006 - 2010 terdapat sebanyak 38 BUMN yang mengalami kerugian. Jumlah tersebut terus mengalami peningkatan dari sebesar 24 perusahaan pada tahun 2009 dan 23 perusahaan tahun 2008. Tahun 2007 terdapat sebanyak 33 BUMN yang mengalami kerugian (Vivanews.com, Minggu, 1 Januari 2012). Trend di masa depan akan cenderung terus meningkat jumlah perusahaan negara yang akan mengalami kerugian. Tahun 2009 lalu disebutkan pula terdapat sebanyak 13 BUMN yang mengalami kerugian hingga miliaran Rupiah.
Isu BUMN kemudian sempat menjadi isu sentral yang masuk ke dalam agenda reshuffle kabinet pada bulan Oktober 2011 lalu. Menteri BUMN termasuk salah satu yang diganti, yaitu digantikan oleh Dahlan Iskan yang semula menempati jabatan Dirut PLN (salah satu BUMN). Di awal masa jabatannya selaku Menteri BUMN, Dahlan Iskan hanya sempat sesumbar akan membatasi intervensi parpol ke dalam BUMN. Agenda untuk menutup sejumlah BUMN pun digulirkan sebagai solusi agar tidak memberatkan APBN. PT Merpati Nusantara termasuk salah satunya yang terus mendapatkan suntikan dana dari APBN. Sampai akhirnya sebelum diumumkannya peringkat utang Indonesia, Dahlan Iskan mendorong BUMN untuk menjual surat-surat utang (obligasi). Tidak ada langkah strategis mengatasi isu finansial dan persoalan kinerja BUMN. Dari 141 perusahaan terdapat sebanyak 38 perusahaan yang merugi atau sebesar 26,95% dari total BUMN.
Tinjauan Historis
Sejarah berdirinya BUMN merupakan tinjauan yang cukup panjang dan tidak bisa dilepaskan dari sejarah cita-cita revolusi. Paska Proklamasi Kemerdekaan RI tahun 1945, pemerintah Indonesia praktis tidak memiliki apapun yang dapat digunakan untuk mewujudkan amanat konstitusi. Agresi Militer I dan II menguras cukup banyak sumberdaya, sehingga pemerintah republik kesulitan untuk mewujudkan amanat pada pasal 33 UUD 1945. Di sinilah kemudian Presiden Soekarno merealisasikan tindakan untuk menasionalisasikan sejumlah besar perusahaan milik asing (Belanda) untuk dijadikan perusahaan milik negara. Misal saja yang sekarang ini menjadi Garuda Indonesia Airways, Pertamina, Telkom, PT Pos Indonesia, PT KAI, PLN, rumah sakit, industri perbankan, industri pengolahan, dan masih banyak lagi perusahaan-perusahaan asing yang telah berganti kepemilikan. Tidak semua BUMN adalah hasil nasionalisasi ketika itu. Beberapa BUMN dibangun berdasarkan swadaya individu yang disokong oleh pemerintah seperti kemunculan IPTN.
Tidak sederhana implikasi yang harus diterima oleh bangsa Indonesia akibat nasionalisasi aset milik pemerintah kerajaan Belanda. Melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tanggal 23 Agustus 1949, Indonesia harus dipaksa untuk mengakui seluruh kerugian kerajaan Belanda termasuk melimpahkan seluruh tanggungan utang pemerintah Hindia Belanda. Ketersediaan sumberdaya manusia masih sangat terbatas di masa itu. Pihak kerajaan Belanda menarik seluruh konsultan dan ahli teknisnya yang semula bekerja mengelola perusahaan-perusahaan yang dinasionalisasikan oleh pemerintah Indonesia. Para founding fathers tentunya tidak berpikir mengenai untung atau rugi, karena sejak awal dilakukan nasionalisasi tersebut bertujuan untuk mewujudkan amanat konstitusi pada Pasal 33 UUD 1945. Secara bertahap pula, pemerintah Indonesia mempersiapkan pengembangan sumberdaya manusia agar nantinya mampu secara optimal mengelola perusahaan-perusahaan milik negara.
Titik balik perkembangan historis Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sesungguhnya baru dimulai pada tahun 1969. Semakin masuknya pengaruh liberalisasi ke dalam kebijakan perekonomian dan pembangunan mendorong pemerintah Orde Baru (Orba) menerbitkan UU No 9 Tahun 1969 Tentang Bentuk Badan Usaha Negara. Pemerintah memperkenalkan asas pengelolaan BUMN yang dikenal dengan istilah dekonsentrasi, debirokrasi, dan desentralisasi. Dibukalah kesempatan bagi pihak swasta untuk turut terlibat ke dalam proses pembangunan yang dikelola melalui BUMN. Dari undang-undang tersebut muncul 3 istilah baru yang dikenalkan terhadap BUMN, yaitu:
1. Perusahaan Jawatan (Perjan)
2. Perusahaan Umum (Perum)
3. Perusahaan Perseroan (Persero).
Pemberian nama badan usaha tersebut dimaksudkan sebagai wujud tata kelola BUMN yang diterapkan oleh pemerintah. Tujuannya tidak lain untuk mendorong BUMN agar dapat memberikan kontribusi positif, yaitu sumber pembiayaan APBN. Pada masa inilah sesungguhnya arah pengelolaan BUMN telah mengalami pergeseran.
Istilah privatisasi mulai diperkenalkan seiring dengan mulai diperkenalkannya konsep perekonomian global atau disebut globalisasi di awal dekade 1990an. Privatisasi adalah mengubah pola pengelolaan BUMN yang semula sepenuhnya dikuasai oleh pemerintah menjadi pengelolaan terbuka. Dalam hal ini, pihak swasta manapun dapat turut andil dalam pengelolaan dan tidak terbatas pada kerjasama antar korporasi. Wacana privatisasi bersamaan diperkenalkan pula dengan wacana swastanisasi BUMN. Di sinilah sesungguhnya menjadi titik balik dimulainya penjualan aset-aset BUMN.
Paska krisis 1998, pihak IMF yang selama ini berperan sebagai konsultan pengelolaan keuangan mendesak agar Indonesia merencanakan roadmap melakukan penjualan BUMN. Tujuannya untuk mengurangi beban anggaran dalam APBN yang terus membengkak. Ditambahkan lagi krisis moneter 1998 berdampak menciptakan biaya pemulihan (recovery) yang cukup besar, sehingga memaksa pemerintah mengambil tindakan strategis dalam jangka pendek. Privatisasi besar-besaran pun mulai dilakukan sejak tahun 2001. Salah satunya yang kemudian menjadi pergunjingan nasional adalah dijualnya aset telekomunikasi, yaitu Indosat. Penjualan aset Indosat menjadi batu sandungan politik bagi Megawati Soekarnoputri dari lawan-lawan politiknya di 2004 dan 2009.
Tinjauan Permasalahan
Jakarta Lloyd merupakan salah satu BUMN yang dianggap sering merugi. Perusahaan negara dengan status persero tersebut merupakan perusahaan jasa angkutan peti kemas. Tidak sedikit kejadian kurang menyenangkan terdengar dari persero ini. Mulai dari kasus pembayaran gaji karyawan yang sering terlambat hingga ketidakmampuannya menebus kapal yang ditahan di Singapura. Tentunya yang menjadi pertanyaan, bagaimana mungkin perusahaan yang bergerak di bidang maritim tersebut dapat hidup di ujung tanduk di negeri sendiri yang didominasi oleh lautan?
Siapa yang sekiranya lebih kaya akan migas, Malaysia ataukah Indonesia? Tentu saja pertanyaan tersebut dapat dengan mudah dijawab. Mari kita lihat suatu perbandingan riil capaian atas laba bersih antara Pertamina (persero) dan Petronas. Setiap tahunnya, Pertamina setidaknya mampu menghasilkan laba bersih sebesar Rp 22 triliun atau tidak lebih dari Rp 24 triliun. Bandingkan dengan Petronas yang mampu meraup laba bersih hingga di atas Rp 200 triliun per tahun. Malaysia sendiri masih menerapkan BBM bersubsidi seperti yang disediakan pula oleh Pertamina. Petronas bukan saja mampu membangun menara kembar yang sering dikunjungi oleh orang Indonesia (turis). Mereka pun sudah menjadi langganan tetap sponsor dalam ajang balap otomotif paling bergengsi seperti Formula One dan GPMotor.
Sejak lama, permasalahan fundamental di dalam BUMN tidak pernah diidentifikasikan secara transparan. Selalu saja menggunakan dalih pengelolaan yang tidak efektif dan menudingnya membebani APBN. Masing-masing BUMN sebenarnya memiliki latar belakang permasalahan yang bervariasi. Namun, pokok permasalahan yang sekaligus menjadi akar dari permasalahannya justru tidak berbeda.
Sejak dekade 1980an, pemerintah telah mengurangi berbagai proteksi atas beberapa BUMN yang sebelumnya sempat diberikan hak monopoli. BUMN tidak lagi memiliki hak untuk menguasai cabang-cabang ekonomi yang menguasai hajat hidup orang banyak. Mereka yang masih menjadi pelaku tunggal diwajibkan untuk melakukan kemitraan dengan pihak swasta, baik swasta dalam negeri maupun luar negeri. Hanya terdapat beberapa di antaranya yang masih menjadi pelaku tunggal, seperti PT KAI. Beberapa monopoli sebenarnya masih ada, seperti monopoli sambungan telepon dan monopoli penguasaan akses interkoneksi yang dikuasai oleh Telkom. Namun, dibukanya pintu persaingan maupun kemitraan tidak membuat BUMN semakin menjadi lebih baik.
Menteri BUMN, Dahlan Iskan belum lama setelah dilantik pernah sesumbar akan menghilangkan intervensi politik dari parpol ke dalam BUMN. Intervensi seperti apa tidak pernah dijelaskan detailnya. Apakah intervensi politik menjadi sumber penyebab masalah di BUMN? Terlalu naif apabila hanya menyebutkan pada intervensi politik dari parpol. Intervensi itu memang ada, akan tetapi bukan semata berasal dari parpol dan bukan pula satu-satunya sumber permasalahan BUMN.
Di tahun 1992, Cacuk Sudarijanto (alm) dipecat dari jabatannya Dirut Telkom. Pangkal persoalan yang dituduhkan oleh pemerintah apabila Cacuk dianggap telah melanggar prosedur tender Gelombang Mikro Digital (GMD) di PT Telkom (Majalah Tempo, 17 Oktober 1992). Cacuk mengambil langkah memenangkan secara sepiihak pihak TRT (perusahaan dibawah naungan Phillips, Belanda). Sementara itu, peserta tender lainnya, yaitu Alcatel (Perancis) sudah bermitra terlebih dahulu dengan Electrindo Nusantara (Bimantara). Tentu saja keputusan Cacuk tersebut tidak disukai oleh Soeharto dan langsung memutuskan pergantian dirut. Apalagi TRT belum memiliki mitra yang jelas dan tentunya pula tidak akan bermitra dengan perusahaan-perusahaan milik keluarga penguasa.
Ada dua perusahaan besar milik negara yang bergerak di bidang kemaritiman, yaitu PT PAL dan PT Jakarta Llyod. PT PAL memiliki bisnis membangun kapal laut, seperti kapal peti kemas, kapal penumpang, ferry, kapal motor sedang, kapal perang, dan berbagai jenis kapal yang saat ini telah mengarungi samudera. Adapun untuk PT Jakarta Llyod menangani pengankutan peti kemas di wilayah perairan NKRI maupun lintas negara. PT Jakarta Lloyd yang paling sering terdengar berita kurang menyenangkan. PT PAL sendiri mengakui masih menunggu suntikan dana dari pemerintah. Tentunya akan menjadi pertanyaan bagaimana suatu perusahaan yang hidup di negara dengan karakter maritim kesulitan untuk bertahan.
Jika kita perhatikan dengan seksama di sektor migas, ada berapa banyak kilang eksplorasi migas yang dimiliki oleh Pertamina? Sektor migas saat ini sudah didominasi eksplorasinya oleh korporasi migas dari asing. Blok Cepu itu saja misalnya yang sebenarnya bisa dikelola oleh Pertamina malah diserahkan kepada Exxon Mobile (Amerika). Di antara negara Asia, hanya Indonesia satu-satunya negara yang pertama kali memiliki perusahaan minyak. Realitanya sampai saat ini pemerintah masih harus bermitra dengan perusahaan minyak milik asing untuk mengeksplorasi minyak maupun gas alam. Hampir 90% pengelolaan minyak di dalam negeri sudah dikuasai oleh asing.
Akar persoalan di dalam pengelolaan BUMN sebenarnya cukup sederhana, yaitu bersumber dari dua masalah fundamental. Pertama, merebaknya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dalam pengelolaan BUMN yang sudah terjadi sejak masa Orba. Jika Dahlan Iskan katakan intervensi parpol, maka intervensi yang sesungguhnya berasal dari kekuasaan dan oligarkinya. Istilah mafia di dalam mafia sulit dibuktikan, akan tetapi nyata terdapat di seluruh pengelolaan BUMN. Sumber permasalahan kedua, yaitu adanya keterikatan ‘samar’ dengan pihak asing yang mampu untuk mempengaruhi jalannya kebijakan ekonomi dan pembangunan. Privatiasasi tidak lain merupakan desakan dari IMF yang selanjutnya menjadi agenda pembangunan nasional. Tentu saja, ide/gagasan dari IMF memiliki kepentingan ganda, terutama kepentingan untuk mengatur iklim politik di dalam negeri.
Untung Atau Rugi? Quo Vadis!
Privatisasi telah berjalan hampir 20 tahun lamanya. Persoalan pengelolaan BUMN masih saja tersandung pada kinerja BUMN melalui indikator laporan keuangan. Dari persepsi tersebut kemudian diarahkan pada perspektif manfaat BUMN sebagai salah satu penopang dalam pos sumber pembiayaan dalam APBN. Untung ataupun rugi dari laporan keuangan BUMN akan menentukan keputusan dalam penyusunan APBN yang bertujuan untuk mendorong dinamika positif dari perekonomian nasional dan sumber pendanaan untuk pembangunan nasional.
Isu BUMN yang terus merugi kemudian terus bergulir hingga pada opsi kebijakan untuk menutup BUMN yang merugi. Alasannya, BUMN tersebut dianggap hanya akan membebani APBN. Salah satu BUMN strategis yang diisukan untuk ditutup adalah PT Merpati Nusantara, yaitu perusahaan penerbangan komersil yang melayani rute penerbangan domestik, terutama rute ke wilayah pelosok. Sejak 2001, jumlah BUMN yang merugi terus mengalami peningkatan. Keputusan pemerintah pun nampak seolah hendak menjaga citra politik, sehingga tidak memperhatikan pertimbangan finansial maupun perekonomian. Pemerintah sendiri tidak pernah secara transparan membuka permasalahan di dalam BUMN sendiri. Sesuatu yang sesungguhnya sudah menjadi semacam rahasia umum.
Idealnya, BUMN memang seharunya memberikan manfaat (benefit) bukan dalam arti sekedar keuntungan berupa laba finansial. Pemerintah akan memperoleh bagian laba BUMN yang berasal dari pembayaran dividen dan atau pembayaran pajak. Idealnya pula, BUMN dapat pula menjadi salah satu motor penggerak pertumbuhan ekonomi. Pemerintah dapat memanfaatkan BUMN untuk mengendalikan perekonomian nasional, seperti mengendalikan persaingan, fungsi pengendali perilaku ekonomi, dan sebagai pendukung untuk menghadapi persaingan global.
Masalah untung atau rugi sesungguhnya harus dikembalikan pada fundamen dibentuknya BUMN, yaitu untuk memenuhi amanat konstitusi pada Pasal 33 UUD 1945. Sebagian besar BUMN saat ini sudah mengimplementasikan model swastanisasi, yaitu pola pengelolaan usaha secara profesional seperti yang kebanyakan terdapat pada korporasi milik swasta. Penutupan BUMN bukan solusi yang tepat, karena nantinya akan diikuti dengan opsi penutupan BUMN lainnya. Jika keputusan penutupan BUMN harus diambil, maka langkah yang perlu dipertimbangkan adalah melakukan pengalihan aset dan atau melakukan penggabungan (merger) dengan BUMN lainnya. Opsi akuisisi oleh BUMN lainnya dapat pula diterapkan yang nantinya akan diarahkan pada program untuk pengalihan atau pengefektifan aset. Hal ini dapat dilakukan pada BUMN yang perannya sudah cukup banyak diisi oleh perusahaan swasta dan pemerintah masih memiliki opsi untuk melakukan pengendalian perilaku usaha.
IMAGE

Jika dilihat pada statistik laba-rugi di atas, terlihat sebagian besar BUMN menghasilkan laba dari periode 2005-2009. Perolehan total laba dari BUMN yang menghasilkan laba terus meningkat, sekalipun memiliki kecenderungan mengalami penurunan, yaitu dari sebesar 61,47% pada tahun 2006 menjadi 13,42% di tahun 2009. Total rugi dari BUMN yang merugi paling tinggi terjadi pada tahun 2008, yaitu sekitar hampir Rp 14 triliun. Rata-rata total kerugian masih di bawah Rp 10 triliun per tahunnya. Jumlah BUMN yang merugi cenderung menurun, yaitu dari sebanyak 36 BUMN pada tahun 2005 menjadi 24 BUMN pada tahun 2009. Kembali pada opsi untuk melakukan pengalihan aset dengan melakukan tindakan merger ataupun akuisisi oleh BUMN lainnya.
Total saat ini terdapat sebanyak 141 BUMN. Tentunya akan semakin tidak mudah untuk mengontrol keseluruhan perusahaan yang berstatus milik negara. Sekalipun demikian, sebagian besar BUMN tersebut memiliki peran yang cukup strategis. Namun, pemerintah harus melepas beberapa BUMN yang perannya sudah banyak diisi oleh korporasi milik swasta dan fungsinya sebagai alat kontrol perekonomian hanyalah opsional. Disamping itu, langkah berani harus dilakukan untuk membersihkan mafia-mafia yang bersarang di dalam BUMN itu sendiri, termasuk pemersihan dari unsur KKN.
Terhitung hingga Desember 2010 terdapat sebanyak 141 perusahaan milik negara (BUMN) yang tercatat pada Kementrian BUMN. Data statistik keuangan dari laporan tahunan pada Kementrian BUMN menyebutkan apabila terhitung dari tahun 2006 - 2010 terdapat sebanyak 38 BUMN yang mengalami kerugian. Jumlah tersebut terus mengalami peningkatan dari sebesar 24 perusahaan pada tahun 2009 dan 23 perusahaan tahun 2008. Tahun 2007 terdapat sebanyak 33 BUMN yang mengalami kerugian (Vivanews.com, Minggu, 1 Januari 2012). Trend di masa depan akan cenderung terus meningkat jumlah perusahaan negara yang akan mengalami kerugian. Tahun 2009 lalu disebutkan pula terdapat sebanyak 13 BUMN yang mengalami kerugian hingga miliaran Rupiah.
Isu BUMN kemudian sempat menjadi isu sentral yang masuk ke dalam agenda reshuffle kabinet pada bulan Oktober 2011 lalu. Menteri BUMN termasuk salah satu yang diganti, yaitu digantikan oleh Dahlan Iskan yang semula menempati jabatan Dirut PLN (salah satu BUMN). Di awal masa jabatannya selaku Menteri BUMN, Dahlan Iskan hanya sempat sesumbar akan membatasi intervensi parpol ke dalam BUMN. Agenda untuk menutup sejumlah BUMN pun digulirkan sebagai solusi agar tidak memberatkan APBN. PT Merpati Nusantara termasuk salah satunya yang terus mendapatkan suntikan dana dari APBN. Sampai akhirnya sebelum diumumkannya peringkat utang Indonesia, Dahlan Iskan mendorong BUMN untuk menjual surat-surat utang (obligasi). Tidak ada langkah strategis mengatasi isu finansial dan persoalan kinerja BUMN. Dari 141 perusahaan terdapat sebanyak 38 perusahaan yang merugi atau sebesar 26,95% dari total BUMN.
Tinjauan Historis
Sejarah berdirinya BUMN merupakan tinjauan yang cukup panjang dan tidak bisa dilepaskan dari sejarah cita-cita revolusi. Paska Proklamasi Kemerdekaan RI tahun 1945, pemerintah Indonesia praktis tidak memiliki apapun yang dapat digunakan untuk mewujudkan amanat konstitusi. Agresi Militer I dan II menguras cukup banyak sumberdaya, sehingga pemerintah republik kesulitan untuk mewujudkan amanat pada pasal 33 UUD 1945. Di sinilah kemudian Presiden Soekarno merealisasikan tindakan untuk menasionalisasikan sejumlah besar perusahaan milik asing (Belanda) untuk dijadikan perusahaan milik negara. Misal saja yang sekarang ini menjadi Garuda Indonesia Airways, Pertamina, Telkom, PT Pos Indonesia, PT KAI, PLN, rumah sakit, industri perbankan, industri pengolahan, dan masih banyak lagi perusahaan-perusahaan asing yang telah berganti kepemilikan. Tidak semua BUMN adalah hasil nasionalisasi ketika itu. Beberapa BUMN dibangun berdasarkan swadaya individu yang disokong oleh pemerintah seperti kemunculan IPTN.
Tidak sederhana implikasi yang harus diterima oleh bangsa Indonesia akibat nasionalisasi aset milik pemerintah kerajaan Belanda. Melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tanggal 23 Agustus 1949, Indonesia harus dipaksa untuk mengakui seluruh kerugian kerajaan Belanda termasuk melimpahkan seluruh tanggungan utang pemerintah Hindia Belanda. Ketersediaan sumberdaya manusia masih sangat terbatas di masa itu. Pihak kerajaan Belanda menarik seluruh konsultan dan ahli teknisnya yang semula bekerja mengelola perusahaan-perusahaan yang dinasionalisasikan oleh pemerintah Indonesia. Para founding fathers tentunya tidak berpikir mengenai untung atau rugi, karena sejak awal dilakukan nasionalisasi tersebut bertujuan untuk mewujudkan amanat konstitusi pada Pasal 33 UUD 1945. Secara bertahap pula, pemerintah Indonesia mempersiapkan pengembangan sumberdaya manusia agar nantinya mampu secara optimal mengelola perusahaan-perusahaan milik negara.
Titik balik perkembangan historis Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sesungguhnya baru dimulai pada tahun 1969. Semakin masuknya pengaruh liberalisasi ke dalam kebijakan perekonomian dan pembangunan mendorong pemerintah Orde Baru (Orba) menerbitkan UU No 9 Tahun 1969 Tentang Bentuk Badan Usaha Negara. Pemerintah memperkenalkan asas pengelolaan BUMN yang dikenal dengan istilah dekonsentrasi, debirokrasi, dan desentralisasi. Dibukalah kesempatan bagi pihak swasta untuk turut terlibat ke dalam proses pembangunan yang dikelola melalui BUMN. Dari undang-undang tersebut muncul 3 istilah baru yang dikenalkan terhadap BUMN, yaitu:
1. Perusahaan Jawatan (Perjan)
2. Perusahaan Umum (Perum)
3. Perusahaan Perseroan (Persero).
Pemberian nama badan usaha tersebut dimaksudkan sebagai wujud tata kelola BUMN yang diterapkan oleh pemerintah. Tujuannya tidak lain untuk mendorong BUMN agar dapat memberikan kontribusi positif, yaitu sumber pembiayaan APBN. Pada masa inilah sesungguhnya arah pengelolaan BUMN telah mengalami pergeseran.
Istilah privatisasi mulai diperkenalkan seiring dengan mulai diperkenalkannya konsep perekonomian global atau disebut globalisasi di awal dekade 1990an. Privatisasi adalah mengubah pola pengelolaan BUMN yang semula sepenuhnya dikuasai oleh pemerintah menjadi pengelolaan terbuka. Dalam hal ini, pihak swasta manapun dapat turut andil dalam pengelolaan dan tidak terbatas pada kerjasama antar korporasi. Wacana privatisasi bersamaan diperkenalkan pula dengan wacana swastanisasi BUMN. Di sinilah sesungguhnya menjadi titik balik dimulainya penjualan aset-aset BUMN.
Paska krisis 1998, pihak IMF yang selama ini berperan sebagai konsultan pengelolaan keuangan mendesak agar Indonesia merencanakan roadmap melakukan penjualan BUMN. Tujuannya untuk mengurangi beban anggaran dalam APBN yang terus membengkak. Ditambahkan lagi krisis moneter 1998 berdampak menciptakan biaya pemulihan (recovery) yang cukup besar, sehingga memaksa pemerintah mengambil tindakan strategis dalam jangka pendek. Privatisasi besar-besaran pun mulai dilakukan sejak tahun 2001. Salah satunya yang kemudian menjadi pergunjingan nasional adalah dijualnya aset telekomunikasi, yaitu Indosat. Penjualan aset Indosat menjadi batu sandungan politik bagi Megawati Soekarnoputri dari lawan-lawan politiknya di 2004 dan 2009.
Tinjauan Permasalahan
Jakarta Lloyd merupakan salah satu BUMN yang dianggap sering merugi. Perusahaan negara dengan status persero tersebut merupakan perusahaan jasa angkutan peti kemas. Tidak sedikit kejadian kurang menyenangkan terdengar dari persero ini. Mulai dari kasus pembayaran gaji karyawan yang sering terlambat hingga ketidakmampuannya menebus kapal yang ditahan di Singapura. Tentunya yang menjadi pertanyaan, bagaimana mungkin perusahaan yang bergerak di bidang maritim tersebut dapat hidup di ujung tanduk di negeri sendiri yang didominasi oleh lautan?
Siapa yang sekiranya lebih kaya akan migas, Malaysia ataukah Indonesia? Tentu saja pertanyaan tersebut dapat dengan mudah dijawab. Mari kita lihat suatu perbandingan riil capaian atas laba bersih antara Pertamina (persero) dan Petronas. Setiap tahunnya, Pertamina setidaknya mampu menghasilkan laba bersih sebesar Rp 22 triliun atau tidak lebih dari Rp 24 triliun. Bandingkan dengan Petronas yang mampu meraup laba bersih hingga di atas Rp 200 triliun per tahun. Malaysia sendiri masih menerapkan BBM bersubsidi seperti yang disediakan pula oleh Pertamina. Petronas bukan saja mampu membangun menara kembar yang sering dikunjungi oleh orang Indonesia (turis). Mereka pun sudah menjadi langganan tetap sponsor dalam ajang balap otomotif paling bergengsi seperti Formula One dan GPMotor.
Sejak lama, permasalahan fundamental di dalam BUMN tidak pernah diidentifikasikan secara transparan. Selalu saja menggunakan dalih pengelolaan yang tidak efektif dan menudingnya membebani APBN. Masing-masing BUMN sebenarnya memiliki latar belakang permasalahan yang bervariasi. Namun, pokok permasalahan yang sekaligus menjadi akar dari permasalahannya justru tidak berbeda.
Sejak dekade 1980an, pemerintah telah mengurangi berbagai proteksi atas beberapa BUMN yang sebelumnya sempat diberikan hak monopoli. BUMN tidak lagi memiliki hak untuk menguasai cabang-cabang ekonomi yang menguasai hajat hidup orang banyak. Mereka yang masih menjadi pelaku tunggal diwajibkan untuk melakukan kemitraan dengan pihak swasta, baik swasta dalam negeri maupun luar negeri. Hanya terdapat beberapa di antaranya yang masih menjadi pelaku tunggal, seperti PT KAI. Beberapa monopoli sebenarnya masih ada, seperti monopoli sambungan telepon dan monopoli penguasaan akses interkoneksi yang dikuasai oleh Telkom. Namun, dibukanya pintu persaingan maupun kemitraan tidak membuat BUMN semakin menjadi lebih baik.
Menteri BUMN, Dahlan Iskan belum lama setelah dilantik pernah sesumbar akan menghilangkan intervensi politik dari parpol ke dalam BUMN. Intervensi seperti apa tidak pernah dijelaskan detailnya. Apakah intervensi politik menjadi sumber penyebab masalah di BUMN? Terlalu naif apabila hanya menyebutkan pada intervensi politik dari parpol. Intervensi itu memang ada, akan tetapi bukan semata berasal dari parpol dan bukan pula satu-satunya sumber permasalahan BUMN.
Di tahun 1992, Cacuk Sudarijanto (alm) dipecat dari jabatannya Dirut Telkom. Pangkal persoalan yang dituduhkan oleh pemerintah apabila Cacuk dianggap telah melanggar prosedur tender Gelombang Mikro Digital (GMD) di PT Telkom (Majalah Tempo, 17 Oktober 1992). Cacuk mengambil langkah memenangkan secara sepiihak pihak TRT (perusahaan dibawah naungan Phillips, Belanda). Sementara itu, peserta tender lainnya, yaitu Alcatel (Perancis) sudah bermitra terlebih dahulu dengan Electrindo Nusantara (Bimantara). Tentu saja keputusan Cacuk tersebut tidak disukai oleh Soeharto dan langsung memutuskan pergantian dirut. Apalagi TRT belum memiliki mitra yang jelas dan tentunya pula tidak akan bermitra dengan perusahaan-perusahaan milik keluarga penguasa.
Ada dua perusahaan besar milik negara yang bergerak di bidang kemaritiman, yaitu PT PAL dan PT Jakarta Llyod. PT PAL memiliki bisnis membangun kapal laut, seperti kapal peti kemas, kapal penumpang, ferry, kapal motor sedang, kapal perang, dan berbagai jenis kapal yang saat ini telah mengarungi samudera. Adapun untuk PT Jakarta Llyod menangani pengankutan peti kemas di wilayah perairan NKRI maupun lintas negara. PT Jakarta Lloyd yang paling sering terdengar berita kurang menyenangkan. PT PAL sendiri mengakui masih menunggu suntikan dana dari pemerintah. Tentunya akan menjadi pertanyaan bagaimana suatu perusahaan yang hidup di negara dengan karakter maritim kesulitan untuk bertahan.
Jika kita perhatikan dengan seksama di sektor migas, ada berapa banyak kilang eksplorasi migas yang dimiliki oleh Pertamina? Sektor migas saat ini sudah didominasi eksplorasinya oleh korporasi migas dari asing. Blok Cepu itu saja misalnya yang sebenarnya bisa dikelola oleh Pertamina malah diserahkan kepada Exxon Mobile (Amerika). Di antara negara Asia, hanya Indonesia satu-satunya negara yang pertama kali memiliki perusahaan minyak. Realitanya sampai saat ini pemerintah masih harus bermitra dengan perusahaan minyak milik asing untuk mengeksplorasi minyak maupun gas alam. Hampir 90% pengelolaan minyak di dalam negeri sudah dikuasai oleh asing.
Akar persoalan di dalam pengelolaan BUMN sebenarnya cukup sederhana, yaitu bersumber dari dua masalah fundamental. Pertama, merebaknya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dalam pengelolaan BUMN yang sudah terjadi sejak masa Orba. Jika Dahlan Iskan katakan intervensi parpol, maka intervensi yang sesungguhnya berasal dari kekuasaan dan oligarkinya. Istilah mafia di dalam mafia sulit dibuktikan, akan tetapi nyata terdapat di seluruh pengelolaan BUMN. Sumber permasalahan kedua, yaitu adanya keterikatan ‘samar’ dengan pihak asing yang mampu untuk mempengaruhi jalannya kebijakan ekonomi dan pembangunan. Privatiasasi tidak lain merupakan desakan dari IMF yang selanjutnya menjadi agenda pembangunan nasional. Tentu saja, ide/gagasan dari IMF memiliki kepentingan ganda, terutama kepentingan untuk mengatur iklim politik di dalam negeri.
Untung Atau Rugi? Quo Vadis!
Privatisasi telah berjalan hampir 20 tahun lamanya. Persoalan pengelolaan BUMN masih saja tersandung pada kinerja BUMN melalui indikator laporan keuangan. Dari persepsi tersebut kemudian diarahkan pada perspektif manfaat BUMN sebagai salah satu penopang dalam pos sumber pembiayaan dalam APBN. Untung ataupun rugi dari laporan keuangan BUMN akan menentukan keputusan dalam penyusunan APBN yang bertujuan untuk mendorong dinamika positif dari perekonomian nasional dan sumber pendanaan untuk pembangunan nasional.
Isu BUMN yang terus merugi kemudian terus bergulir hingga pada opsi kebijakan untuk menutup BUMN yang merugi. Alasannya, BUMN tersebut dianggap hanya akan membebani APBN. Salah satu BUMN strategis yang diisukan untuk ditutup adalah PT Merpati Nusantara, yaitu perusahaan penerbangan komersil yang melayani rute penerbangan domestik, terutama rute ke wilayah pelosok. Sejak 2001, jumlah BUMN yang merugi terus mengalami peningkatan. Keputusan pemerintah pun nampak seolah hendak menjaga citra politik, sehingga tidak memperhatikan pertimbangan finansial maupun perekonomian. Pemerintah sendiri tidak pernah secara transparan membuka permasalahan di dalam BUMN sendiri. Sesuatu yang sesungguhnya sudah menjadi semacam rahasia umum.
Idealnya, BUMN memang seharunya memberikan manfaat (benefit) bukan dalam arti sekedar keuntungan berupa laba finansial. Pemerintah akan memperoleh bagian laba BUMN yang berasal dari pembayaran dividen dan atau pembayaran pajak. Idealnya pula, BUMN dapat pula menjadi salah satu motor penggerak pertumbuhan ekonomi. Pemerintah dapat memanfaatkan BUMN untuk mengendalikan perekonomian nasional, seperti mengendalikan persaingan, fungsi pengendali perilaku ekonomi, dan sebagai pendukung untuk menghadapi persaingan global.
Masalah untung atau rugi sesungguhnya harus dikembalikan pada fundamen dibentuknya BUMN, yaitu untuk memenuhi amanat konstitusi pada Pasal 33 UUD 1945. Sebagian besar BUMN saat ini sudah mengimplementasikan model swastanisasi, yaitu pola pengelolaan usaha secara profesional seperti yang kebanyakan terdapat pada korporasi milik swasta. Penutupan BUMN bukan solusi yang tepat, karena nantinya akan diikuti dengan opsi penutupan BUMN lainnya. Jika keputusan penutupan BUMN harus diambil, maka langkah yang perlu dipertimbangkan adalah melakukan pengalihan aset dan atau melakukan penggabungan (merger) dengan BUMN lainnya. Opsi akuisisi oleh BUMN lainnya dapat pula diterapkan yang nantinya akan diarahkan pada program untuk pengalihan atau pengefektifan aset. Hal ini dapat dilakukan pada BUMN yang perannya sudah cukup banyak diisi oleh perusahaan swasta dan pemerintah masih memiliki opsi untuk melakukan pengendalian perilaku usaha.
IMAGE

Jika dilihat pada statistik laba-rugi di atas, terlihat sebagian besar BUMN menghasilkan laba dari periode 2005-2009. Perolehan total laba dari BUMN yang menghasilkan laba terus meningkat, sekalipun memiliki kecenderungan mengalami penurunan, yaitu dari sebesar 61,47% pada tahun 2006 menjadi 13,42% di tahun 2009. Total rugi dari BUMN yang merugi paling tinggi terjadi pada tahun 2008, yaitu sekitar hampir Rp 14 triliun. Rata-rata total kerugian masih di bawah Rp 10 triliun per tahunnya. Jumlah BUMN yang merugi cenderung menurun, yaitu dari sebanyak 36 BUMN pada tahun 2005 menjadi 24 BUMN pada tahun 2009. Kembali pada opsi untuk melakukan pengalihan aset dengan melakukan tindakan merger ataupun akuisisi oleh BUMN lainnya.
Total saat ini terdapat sebanyak 141 BUMN. Tentunya akan semakin tidak mudah untuk mengontrol keseluruhan perusahaan yang berstatus milik negara. Sekalipun demikian, sebagian besar BUMN tersebut memiliki peran yang cukup strategis. Namun, pemerintah harus melepas beberapa BUMN yang perannya sudah banyak diisi oleh korporasi milik swasta dan fungsinya sebagai alat kontrol perekonomian hanyalah opsional. Disamping itu, langkah berani harus dilakukan untuk membersihkan mafia-mafia yang bersarang di dalam BUMN itu sendiri, termasuk pemersihan dari unsur KKN.
Berbicara tentang
Badan Usaha Milik Negara, tentu saja kita harus melihat sekilas perkembangan
sejarahnya. Organisasi Pemerintah yang memiliki Tugas Pokok dan Fungsi
(Tupoksi) melaksanakan pembinaan terhadap Perusahaan Negara/Badan Usaha Milik
Negara di Republik Indonesia telah ada sejak tahun 1973. Awalnya, organisasi
ini merupakan bagian dari unit kerja di lingkungan Departemen Keuangan Republik
Indonesia sampai 1998. Mengingat peran, fungsi dan kontribusi BUMN terhadap
keuangan negara sangat signifikan, maka sejak tahun 1998, pemerintah Republik
Indonesia mengubah bentuk organisasi pembina dan pengelola BUMN menjadi
setingkat Kementerian. Awal dari perubahan bentuk organisasi tersebut terjadi
di masa pemerintahan Kabinet Pembangunan VII, dengan nama Kementerian Negara
Pendayagunaan BUMN/Kepala Badan Pembinaan BUMN. Menteri pertama yang
bertanggung jawab atas pendayagunaan BUMN tersebut adalah Bapak Tanri Abeng.
Pada masa ini sempat digagas tentang BUMN Incorporated, sebuah bangun organisasi BUMN berbentuk super holding[1].
Jika diibaratkan umur
manusia, memasuki umur tiga puluh tahun merupakan masa keemasan dimana puncak
produktifitas memasuki titik optimumnya. Namun, menilik kinerja BUMN Indonesia
di tingkat global saat ini, tidak ada satupun perusahaan BUMN Indonesia yang
masuk ke dalam 500 besar perusahaan terkaya di dunia, sementara perusahaan BUMN
asal Malaysia (Petronas), SIngapura (SingTel), dan Thailand (PTT PCL), bisa
masuk ke jajaran 200 terbaik[2]. Kita sepatutnya memberikan apresiasi kepada
enam BUMN yang masuk dalam Forbes Global 2000 tahun 2012, yaitu BRI, Mandiri,
Telkom, BNI, PGN dan Semen Gresik. Prestasi ini tentunya masih tertinggal
dibandingkan dengan BUMN Negara tetangga ataupun perusahaan swasta yang
beroperasi di Indonesia. Salah satu permasalahan yang menerpa BUMN terkait
tidak optimalnya kinerja BUMN Indonesia salah satunya adalah budaya korporasi
dan kepemimpinan. Dengan tidak mengesampingkan permasalahan lainnya, kedua hal
tersebut perlu mendapatkan perhatian untuk mengoptimalkan kinerja BUMN. Salah
satu solusinya yaitu melakukan restrukturisasi. Restrukturisasi dilakukan
dengan maksud untuk menyehatkan BUMN agar dapat beroperasi secara efisien,
tranparan dan professional. Program restrukturisasi bertujuan untuk
meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memberikan manfaat berupa dividen
dan pajak kepada Negara, menghasilkan produk dan layanan dengan harga yang
kompetitif kepada konsumen[3].
Budaya birokrasi dan
kepemimpinan merupakan dua hal yang saling terkait. Budaya korporasi yang njelimet, tidak efisien, serta pengambilan keputusan
strategis yang birokratis membuat sebuah BUMN tidak bisa “berlari” kencang.
Para direksi BUMN, termasuk direktur utamanya, hari itu mengenakan baju yang
biasa dipakai pegawai golongan terendah di masing-masing BUMN. Ini sebuah
simbol bahwa direksi BUMN harus siap meninggalkan kemewahan yang berlebihan
mengingat BUMN harus lebih efisien, bersih, dan menjadi contoh untuk lokomotif
pertumbuhan[4]. Kemudian contoh lain adalah mengadakan rapat yang placeless. Pengambilan keputusan pun dapat dilakukan
dengan cepat dan costless karena diadakan lewat media Blackberry
Messenger! Para petinggi BUMN kurang mampu berinovasi dan keluar dari pakem
yang ada. Tradisi lama tetap dipertahankan yang berakibat pada rutinitas monoton
yang dilakukan sampai level pegawai paling rendah, menyebabkan tidak optimalnya
kinerja BUMN.
Terkait dengan
kepemimpinan yang dapat mengubah situasi suatu BUMN, contoh sederhana yang
dapat kita ambil adalah maskapai penerbangan Garuda Indonesia. Sebelum
ditangani oleh Emirsyah Satar, perusahaan tersebut merugi besar. Namun,
terhitung delapan tahun sejak mengemban amanah menjadi Direktur Utama Garuda,
secara mengejutkan, saat ini perusahan tersebut sudah lebih besar dari Malaysia
Airlines (MAS) dan Thai Airways, Thailand. Bahkan Garuda Indonesia sudah lebih
besar dari Air France! Nilai Garuda kini sudah mencapai Rp 18 triliun. Sudah
sekitar Rp 1 triliun lebih besar dari MAS dan Thai Airways[5]. Pemimpin yang
visoner, yang mampu menyelaraskan visi, misi, tujuan strategi dan mempunyai
komitmen yang tinggi terhadap kebijakan perusahaan. Pemimpin yang baik juga
harus mampu berkomunikasi dengan karyawan di tingkat manapun. Komunikasi yang
berjalan dengan baik akan membuat revolusi budaya birokrasi yang njelimetdapat diatasi. Komunikasi yang baik juga harus
dilakukan kepada masyarakat sebagai salah satu stakeholder oleh direktur BUMN
apabila terkait dengan corporate action. Satu contoh kurang mulusnya komunikasi (jika
tidak ingin disebut “gagal”) adalah keributan pedagang kaki lima dengan aparat
keamanan di beberapa stasiun di Jabotedabek beberapa waktu lalu.
Paparan menandakan
bahwa langkah-langkah restrukturisasi yang semakin terarah dan efektif terhadap
orientasi dan fungsi BUMN sudah terlihat. Langkah restrukturisasi ini dapat
meliputi restrukturisasi manajemen, organisasi, operasi dan sistem prosedur.
Selain itu, pemantapan penerapan prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG), yaitu transparansi, akuntabilitas,
keadilan dan responsibilitas pada pengelolaan BUMN PSO maupun BUMN komersial
juga semakin terlihat. Langkah pemetakan BUMN yang ada ke dalam kelompok BUMN public service obligation (PSO) dan kelompok BUMN komersial (business
oriented), sehingga kinerja BUMN tersebut dapat meningkat dan pengalokasian
anggaran pemerintah akan semakin efisien dan efektif, serta kontribusi BUMN
dapat meningkat (BAPPENAS, 2004)[6].
Suatu inovasi yang
telah dilakukan adalah merekrut generasi muda untuk menduduki posisi tertinggi
di beberapa BUMN. Kenaikan upah menjadi salah satu pintu masuk untuk menyeleksi
dan menyaring tenaga kerja berkualitas.[7] Namun, mengubah mindset generasi
muda (baca: mahasiswa) saat ini sebagai calon penerus Chief Executive Officer (CEO) BUMN di negeri ini tidak mudah. Di
berbagai kampus tentu mahasiswanya dibekali dengan ilmu kepemimpinan maupun
kewirausahaan yang cukup sebagai bekal nantinya. Di samping itu, tidak ada
salahnya jika BUMN menjemput bola untuk merekrut potensi-potensi generasi muda
langsung ke kampus. Alangkah sayangnya jika potensi ini terlepas dan malah
“diperas” oleh perusahaan multinasional asing. Seratus empat puluh satu BUMN
bukanlah angka yang kecil. Pasti ada kesempatan. Pertanyaannya, maukah kita,
mahasiswa, memanfaatkan kesempatan itu?
Depok, 10 Maret 2013
Ditulis oleh Elsa Ryan R, mahasiswa Ilmu Ekonomi FEUI
Ditulis oleh Elsa Ryan R, mahasiswa Ilmu Ekonomi FEUI
[1] Sejarah
Kementerian BUMN, http://www.bumn.go.id/tentang-kami-bumn/sejarah-perkembangan/, diakses tangal 10 Maret 2013 pukul 15.50
[2] “Forbes Global
2000″, http://www.forbes.com/global2000/, diakses tangal 10 Maret 2013 pukul 16.00
[3]
http://www.sohibuliman.net/index.php?option=com_content&view=article&id=322:solusi-dalam-mengatasi-permasalahan-bumn&catid=37:artikel&Itemid=62
[4]
http://www.bumn.go.id/99463/catatan-menteri/manufacturing-hope-47-menggerakkan-tangan-kiri-bumn-22-kali-2/
[5]
http://www.bumn.go.id/84867/catatan-menteri/manufacturing-hope-30-garuda-yang-kalahkan-mas-dan-batantek-yang-mengasia/
[6]
http://www.bappenas.go.id/get-file-server/node/827/
[7]
http://www.bumn.go.id/ptpn5/galeri/artikel/dahlan-percaya-kemampuan-generasi-muda/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar