Sabtu, 29 Maret 2014

BUMN (Badan Usaha Milik Negara)



Badan Usaha Milik Negara
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Badan usaha milik negara (disingkat BUMN) atau perusahaan milik negara merujuk kepada perusahaan atau badan usaha yang dimiliki pemerintah sebuah negara.
Isu terkait BUMN di Indonesia[sunting | sunting sumber]
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/f/f4/Ambox_content.png
Sumber referensi dari artikel atau bagian ini belum dipastikan dan mungkin isinya tidak benar.
Tolong
 diperiksa, dan lakukan modifikasi serta tambahkan sumber yang benar pada bagian yang diperlukan.
BUMN utama berkembang dengan monopoli atau peraturan khusus yang bertentangan dengan semangat persaingan usaha sehat (UU no. 5 tahun 1999), tidak jarang BUMN bertindak selaku pelaku bisnis sekaligus sebagai regulator. BUMN kerap menjadi sumber korupsi, yang lazim dikenal sebagai sapi perahan bagi oknum pejabat atau partai.
Pasca krisis moneter 1998, pemerintah giat melakukan privatisasi dan mengakhiri berbagai praktek persaingan tidak sehat. Fungsi regulasi usaha dipisahkan dari BUMN. Sebagai akibatnya, banyak BUMN yang terancam gulung tikar, tetapi beberapa BUMN lain berhasil memperkokoh posisi bisnisnya.
Dengan mengelola berbagai produksi BUMN, pemerintah mempunyai tujuan untuk mencegah monopoli pasar atas barang dan jasa publik oleh perusahaan swasta yang kuat. Karena, apabila terjadi monopoli pasar atas barang dan jasa yang memenuhi hajat hidup orang banyak, maka dapat dipastikan bahwa rakyat kecil yang akan menjadi korban sebagai akibat dari tingkat harga yang cenderung meningkat.
Manfaat BUMN:
·         Memberi kemudahan kepada masyarakat luas dalam memperoleh berbagai alat pemenuhan kebutuhan hidup yang berupa barang atau jasa.
·         Membuka dan memperluas kesempatan kerja bagi penduduk angkatan kerja.
·         Mencegah monopoli pasar atas barang dan jasa yang merupakan kebutuhan masyarakat banyak oleh sekelompok pengusaha swasta yang bermodal kuat.
·         Meningkatkan kuantitas dan kualitas produksi komoditi ekspor sebagai sumber devisa,baik migas maupun non migas.
·         Menghimpun dana untuk mengisi kas negara ,yang selanjutnya dipergunakan untuk memajukan dan mengembangkan perekonomian negara.
·         Memberikan pelayanan kepada masyarakat.


Sekertariat kementrian bumn
http://oa.bumn.go.id/ext/webservice/service.php?ref=strukturorganisasikn&level=menterihttp://oa.bumn.go.id/ext/webservice/service.php?ref=strukturorganisasikn&level=deputi&kodeOrg=SK0000Kementrian bumn
http://oa.bumn.go.id/ext/webservice/service.php?ref=strukturorganisasikn&level=deputi&kodeOrg=DP4000http://oa.bumn.go.id/ext/webservice/service.php?ref=strukturorganisasikn&level=deputi&kodeOrg=DP5000

(Visited 9,266 times, 37 visits today) http://oa.bumn.go.id/ext/webservice/service.php?ref=strukturorganisasikn&level=deputi&kodeOrg=DP3000

STRUKTUR ORGANISASI KEMENTERIAN BUMN
PEJABAT KEMENTERIAN BUMN

Struktur Organisasi dan Pejabat
Menteri


Dahlan Iskan
:
Menteri Negara BUMN

Wakil Menteri


Mahmuddin Yasin
:
Wakil Menteri Negara BUMN

Eselon I

1
Wahyu Hidayat
:
Sekretaris Kementerian BUMN
2
Muhamad Zamkhani
:
Deputi Bidang Usaha Industri Primer
3
Dwijanti Tjahjaningsih
:
Deputi Bidang Usaha Industri Strategis dan Manufaktur
4
Harry Susetyo Nugroho
:
Pgs. Deputi Bidang Usaha Infrastruktur dan Logistik
5
-
:
Deputi Bidang Usaha Jasa
6
Achiran Pandu Djajanto
:
Deputi Bidang Restrukturisasi dan Perencanaan Strategis BUMN
7
Harry Susetyo Nugroho
:
Staf Ahli Bidang Tata Kelola BUMN
8
-
:
Staf Ahli Bidang Kebijakan Publik
9
Irnanda Laksanawan
:
Staf Ahli Bidang Sumber Daya Manusia dan Teknologi
10
Bagus Rumbogo
:
Staf Ahli Bidang Hubungan Antar Lembaga

Eselon II

1
Imam Apriyanto Putro
:
Kepala Biro Perencanaan dan Sumber Daya Manusia
2
Hambra
:
Kepala Biro Hukum
3
Purwanto
:
Kepala Biro Umum dan Humas
4
Bernardus Didik Prasetyo
:
Asdep Bidang Usaha Industri Primer I
5
Sulwan SilondaE
:
Asdep Bidang Usaha Industri Primer II
6
Sumyana Sukandar
:
Asdep Bidang Usaha Industri Primer III
7
Seger Budiarjo
:
Asdep Bidang Usaha Industri Strategis dan Manufaktur I
8
Gatot Trihargo
:
Asdep Bidang Usaha Industri Strategis dan Manufaktur II
9
-
:
Asdep Bidang Usaha Industri Strategis dan Manufaktur III
10
Timbul Tambunan
:
Asdep Bidang Usaha Infrastruktur dan Logistik I
11
-
:
Asdep Bidang Usaha Infrastruktur dan Logistik II
12
Wiranto
:
Asdep Bidang Usaha Infrastruktur dan Logistik III
13
Purnomo Sinar Hadi
:
Asdep Bidang Usaha Jasa I
14
Ignatius Rusdonobanu
:
Asdep Bidang Usaha Jasa II
15
Sabdono
:
Asdep Bidang Usaha Jasa III
16
Sonatha Halim Jusuf
:
Asdep Restrukturisasi dan Pengembangan Usaha
17
Chairiah
:
Asdep Pendayagunaan Aset dan Sinergi
18
Upik Rosalina Wasrin
:
Asdep Pembinaan Kemitraan dan Bina Lingkungan
19
Fadjar Judisiawan
:
Plt. Asdep Riset dan Informasi
20
Herman Hidayat
:
Inspektur
JAKARTA - Pada Oktober 2011, tongkat komando atas perusahaan-perusahaan BUMN berpindah dari Mustafa Abubakar ke tangan Dahlan Iskan. Dahlan diminta tidak hanya membersihkan perusahaan BUMN dari praktik penyimpangan dan penyelewengan saja, tapi juga mengemban tugas meningkatkan kinerja perusahaan BUMN dan perannya bagi negara.
Sejak resmi melanjutkan estafet kepemimpinan di Kementerian BUMN, Dahlan terus menjadi sorotan. Beberapa pihak menilai positif kinerja Dahlan meningkatkan performa perusahaan BUMN.
Tapi, banyak pula yang menyangsikan prestasi Dahlan. Dahlan dituding lebih banyak pencitraan dan beraksi bak koboi jalanan dibandingkan fokus membenahi dan meningkatkan kinerja perusahaan BUMN.
Saat ini, di bawah komando Dahlan, keberadaan dan perkembangan perusahaan negara semakin positif. Terutama jika dibandingkan dengan kondisi di era orde baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto yang kental dengan nuansa militer.
Jika menilik sedikit ke belakang, di masa orde baru tidak ada yang namanya kementerian BUMN. Perusahaan negara berada di bawah pengawasan dan pembinaan Departemen Keuangan (sekarang Kementerian Keuangan).
Menjelang kejatuhan orde baru, Kementerian BUMN dibentuk. Itupun setelah memperhatikan penting dan strategisnya peran perusahaan BUMN dalam roda perekonomian nasional dan keuangan negara.
Sejak dibentuk kementerian khusus, perusahaan BUMN pun dinilai semakin berkembang. Tidak hanya jumlahnya yang semakin banyak. Perusahaan BUMN pun ada di hampir semua lini atau sektor bisnis dalam negeri.
Merdeka.com mencoba merangkum perbedaan-perbedaan kondisi perusahaan BUMN di era Soeharto dan era saat ini, di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Berikut lima perbedaannya dari kacamata Ekonom Dawam Rahardjo.
Pada masa Orde Baru, BUMN memang sudah cukup maju. Hanya saja, masih dipimpin birokrat dan jenderal. Nuansa militer dan birokrat memang cukup kental di era Presiden Soeharto.
"Perusahaan besar seharusnya dipimpin oleh orang profesional sehingga terjadi profesionalisme. Walaupun mereka (pimpinan BUMN birokrat dan jenderal) ada yang berhasil," ucap Dawam dalam bedah buku, di Gedung Arsip Nasional, Jakarta, Selasa (4/6).
Ekonom Dawam Rahardjo menyebutkan, ketika perusahaan pelat merah dipimpin oleh banyak orang politik dan jenderal, maka secara tidak langsung perusahaan akan cenderung dekat dengan kepentingan politik.
"Banyak perusahaan dipimpin oleh jenderal-jenderal dan berpotensi ada politik terhadap BUMN," jelasnya.
Di era orde baru, banyak stigma atau pendapat negatif terkait nuansa birokrat dan jenderal dalam tubuh perusahaan negara. Perusahaan BUMN dinilai tidak akan menjadi profesional.
"Ada stigma mengatakan jika dipimpin birokrat dan militer dan produksi akan menurunkan langsung produksi. BUMN tidak bisa jadi unit bisnis karena didukung orang yang bukan profesinya," ujar Ekonom Dawam Rahardjo.
Stigma selanjutnya mengenai kepemimpinan BUMN adalah menyebutkan kalau BUMN itu akan gagal jika mengalami birokratisasi. Kapitalisasi para birokrat akan menghancurkan perusahaan itu sendiri.
"Kemudian, BUMN akan menjadi suatu kendaraan politik. Banyak stigma mengenai BUMN. Pimpinan BUMN susah mengambil keputusan. BUMN hanya akan menjadi politik dan lembaga sosial bukan jadi perusahaan," tutupnya.
Ekonom Dawam Rahardjo mengakui, saat ini perusahaan pelat merah sangat inovatif. Dia juga memuji kemajuan dan berbagai aksi perusahaan BUMN di bawah komando Dahlan Iskan.
Dia menyebut beberapa perusahaan BUMN yang sangat inovatif dalam mengembangkan usahanya. Semisal PT Pos Indonesia yang terus mengembangkan inovasi di luar bisnis intinya.
Dawam juga menyebut inovasi yang dilakukan salah satu bank pelat merah yaitu Mandiri yang akan memberikan layanan pinjaman kepada masyarakat daerah dengan mendirikan bank sinar bersama PT Pos Indonesia dan PT Taspen.
"Jadi sekarang tidak benar BUMN itu tidak bisa lakukan inovasi," katanya.
Saat ini, keberadaan dan perkembangan perusahaan pelat merah atau perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dinilai telah melebihi cita-cita konsistusi. Dalam konstitusi negara hanya diatur 3 bidang untuk BUMN yaitu menguasai hajat hidup orang banyak, mengatur sumber daya alam, serta sebagai social protection atau sosial instrumen.
"BUMN sebenarnya sudah melampaui ketentuan konstitusi, konstitusi cuma mengatur 3 bidang itu. Tiga itu saja tapi BUMN saat ini sudah melampaui itu," ucap Dawam.
http://www.merdeka.com/uang/5-perbedaan-kondisi-bumn-di-era-soeharto-dan-sby/menjawab-cita-cita-konstitusi.html
http://www.bumn.go.id/wp-content/uploads/2010/10/Kinerja-Keuangan-BUMN-2008-20121.jpg
http://www.bumn.go.id/wp-content/uploads/2010/10/rincianBUMN1.jpghttp://www.bumn.go.id/wp-content/uploads/2010/10/jumlahBUMN.jpg
PDF
Print
E-mail

http://t2.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcR6K5GzVJgO7rpSZKwPsyDjKPX7wJjFq5gDoA7pKrAcQ7q_EJ-xVA
Undang-Undang dasar 1945mengamanatkan tentang pelaku ekonomi nasional terdiri dari tiga bentuk badan usaha yang merupakan yaitu swasta, BUMN dan koperasi. Badan Usaha Milik Negara  BUMN adalah “kelanjutan”  dari perusahaan-perusahaan besar milik pemerintah dan swasta Belanda yang beroperasi di Indonesia.  Perusahaan-perusahaan ini sebagian besarnya mengelola utilitas public.

Selain mengambil alih perusahaan Belanda, pemerintah juga mendirikan perusahaan pelayanan public di jasa pengangkutan udara dan laut, dan sektor perbankan. Garuda adalah perusahaan pelayanan public di jasa pengangkutan udara, sedangkan pelni merupakan perusahaan pelayaran antarpulau dan Djakarta Lyoid untuk pelayaran samudera.


Existensi BUMN ini dimuali dari nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda, yang menyebabkan terjadinya perubahan fundamental dalam struktur perekonomian Indonesia. Akibatnya, terjadilah nasionalisasi kepemlikan yang menyebabkan 90% produksi perkebunan, 60% nilai perdagangan, 246 pabrik, perusahaan pertambangan, perkapalan, perbankan, dan berbagai sektor jasa  beralih tangan ke pemerintah Indonesia.


UU No 19 PRP/1960 tentang Perusahaan Negara merupakan kebijakan mengenai BUMN yang pertama kali dibuat oleh pemerintah.  Tahun 1967, terbitlah Inpres No 17/1967 tentang pengarahan dan penyederhanaan Perusahaan Negara ke dalam tiga bentuk usaha Negara yaitu Perjan, Persero dan Perum.  Kebijakan lain yang memperkuat adalah UU No 9/1969 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 1/1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara, PP No 3/1983 tantang model pembinaan dan pengawasan BUMN dan Inpres No 5 /1998 tentang pedoman penyehatan BUMN.


Berbagai  kebijakan telah dibuat oleh pemerintah guna meningkatkan kinerja BUMN, namun sayangnya kinerja BUMN cenderung memburuk dari tahun ke tahun. Pada kurun waktu 1988 sampai dengan 1995, terjadi kemerosotan produktivitas BUMN.  Upaya penyehatan BUMN ditempuh dengan cara mengucurkan dana segar kepada BUMN.


Sampai dengan tahun 1997, banyak BUMN yang terlibat di banyak sector perekonomian nasional , dengan total asset sebesar Rp461,6 triliun. BUMN yang berada di bawah pengawasan kantor Menteri Negara Pendayagunaan BUMN adalah 160 BUMN, yang diantaranya 74 perusahaan atau 42,6% termasuk dalam kategori baik dan baik sekali, sedangkan 53,8% dalam kategori kurang baik dan tidak baik.


Antara tahun 1997-1998 kinerja BUMN di bawah pembinaan dan pengelolaan lembaga pemerintah yang baru menunjukkan perbaikan dengan jumlah BUMN yang sehat dari 82 bertambah menjadi 87, peningkatan pendapatan sebesar 155,2% dan laba usaha meningkat sebesar 207,1%.


Pada tahun 1998, dengan penjualan Rp 81,69 triliun BUMN mampu mencetak laba bersih Rp 17,61 triliun. Tahun 1999, total asset BUMN adalah Rp 861.520 miliar dengan penjualan Rp 169.253,4 miliar dan laba setelah pajak Rp 14.271 miliar. Dengan penjualan Rp 169,25 triliun hanya mengkontribusikan laba bersih lebih rendah yaitu Rp 14,27 triliun.  Jika dibandingkan dengan kinerja pada tahun 1998, maka pada tahun 1999 terjadi penurunan prestasi.


Pada tahun 2000, terjadi penurunan laba bersih. Namun pada tahun 2001, BUMN mampu mencetak laba bersih sebanyak Rp 18,8 triliun, 2002 sebesar Rp 26 triliun dan 2003 sebesar Rp 28 triliun. Pada tahun 2003 jumlah BUMN yang sehat meningkat menjadi 128 BUMN.


Permasalahan lain yang dihadapi oleh BUMN antara lain meliputi masalah organisasi, hukum dan good corporate governance, biaya dan pendanaan, kemampuan penguasaan cross functional area, suku cadang dan entrepreneurship, kepemimpinan, change manajement.


Reinvensi BUMN dapat menjadi solusi untuk mengatasi problematika BUMN, karena BUMN  adalah asset ekonomi bangsa terpenting. BUMN berada pada sektor-sektor bisnis strategis dan mempunyai perputaran bisnis yang signifikan. Bahkan ketika krisis ekonomi melanda Indonesia, BUMN menjadi satu-satunya pelaku ekonomi nasional yang berpotensi untuk berperan


Empat konsep pokok untuk melakukan reinvensi BUMN yaitu restrukturisasi, privatisasi, budaya korporasi dan kepemimpinan korporasi. Sesuai dengn UU No 19 tahun 2003 tentang BUMN, retsrukturisasi adalah upaya yang dilakukan dalam rangka penyehatan BUMN yang merupakan salah satu langkah strategis untuk memperbaiki kondisi internal perusahaan guna memperbaiki kinerja dan meningkatkan nilai perusahaan. Restrukturisasi dilakukan dengan maksud untuk menyehatkan BUMN agar dapat beroperasi secara efisien, tranparan dan professional. Program restrukturisasi bertujuan untuk meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memberikan manfaat berupa dividen dan pajak kepada Negara, menghasilkan produk dan layanan dengan harga yang kompetitif kepada konsumen dan memudahkan pelaksanaan privatisasi.


Sesuai Undang-undang Nomor 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, pengertian Privatisasi adalah penjualan saham Persero, baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas kepemilikan saham oleh masyarakat. Berdasarkan pengertian privatisasi tersebut maka Kementerian Negara BUMN mengenai privatisasi adalah: Mendorong BUMN untuk meningkatkan kinerja dan nilai tambah perusahaan guna menjadi champion dalam industrinya serta meningkatkan peran serta masyarakat dalam kepemilikan sahamnya.


Sesuai pasal 74 Undang-undang 19 tahun 2003 telah ditetapkan maksud dan tujuan Privatisasi. Maksud dan tujuan yang telah ditetapkan Undang-Undang tersebut sekaligus menjadi misi memperluas kepemilikan masyarakat atas Persero, meningkatkan efisiensi dan produktivitas perusahaan, menciptakan struktur keuangan dan manajemen keuangan yang baik/kuat, menciptakan struktur industri yang sehat dan kompetitif, menciptakan Persero yang berdaya saing dan berorientasi global, dan menumbuhkan iklim usaha, ekonomi makro, dan kapasitas pasar.


Program privatisasi bertujuan untuk meningkatkan kinerja dan nilai tambah perusahaan serta meningkatkan peran serta masyarakat dalam pemilikan saham Persero Privatisasi dilakukan dengan memperhatikan prinsip- prinsip transparansi, kemandirian, akuntabilitas, pertanggung-jawaban, dan kewajaran.


Privatisasi berkenaan dengan upaya untuk mengurangi peran negara yang berlebihan di sector bisnis, khususnya dalam rangka menggerakkan dan memberdayakan perekonomian masyarakat. Privatisasi bisa juga diartikan sebagai upaya peningkatan akses terhadap pasar internasional, pendanaan, teknologi, serta peningkatan kemampuan daya saing perusahaan. Budaya korporasi berkenaan dengan pengembangan BUMN yang berbudaya, bukan hanya manajemen yang professional namun juga budaya yang unggul. Sedangkan kepemimpinan korporasi adalah sebuah keharusan untuk membawa BUMN ke kelas dunia.

Persepsi masyarakat beranggapan apabila BUMN adalah perusahaan negara yang dikelola oleh negara dan sekaligus menjadi sumber pendapatan negara. BUMN tidak ubahnya seperti halnya korporasi atau swasta pada umumnya. Permasalahan pokok yang dihadapi dalam pengelolaan BUMN saat ini adalah kinerja (performance) intervensi non korporasi. Apapun permasalahan tersebut, akan lebih baik mempertanyakan apakah BUMN sebaiknya merugi ataukah didorong untuk menghasilkan keuntungan (laba)?

Terhitung hingga Desember 2010 terdapat sebanyak 141 perusahaan milik negara (BUMN) yang tercatat pada Kementrian BUMN. Data statistik keuangan dari laporan tahunan pada Kementrian BUMN menyebutkan apabila terhitung dari tahun 2006 - 2010 terdapat sebanyak 38 BUMN yang mengalami kerugian. Jumlah tersebut terus mengalami peningkatan dari sebesar 24 perusahaan pada tahun 2009 dan 23 perusahaan tahun 2008. Tahun 2007 terdapat sebanyak 33 BUMN yang mengalami kerugian (Vivanews.com, Minggu, 1 Januari 2012). Trend di masa depan akan cenderung terus meningkat jumlah perusahaan negara yang akan mengalami kerugian. Tahun 2009 lalu disebutkan pula terdapat sebanyak 13 BUMN yang mengalami kerugian hingga miliaran Rupiah. 

Isu BUMN kemudian sempat menjadi isu sentral yang masuk ke dalam agenda reshuffle kabinet pada bulan Oktober 2011 lalu. Menteri BUMN termasuk salah satu yang diganti, yaitu digantikan oleh Dahlan Iskan yang semula menempati jabatan Dirut PLN (salah satu BUMN). Di awal masa jabatannya selaku Menteri BUMN, Dahlan Iskan hanya sempat sesumbar akan membatasi intervensi parpol ke dalam BUMN. Agenda untuk menutup sejumlah BUMN pun digulirkan sebagai solusi agar tidak memberatkan APBN. PT Merpati Nusantara termasuk salah satunya yang terus mendapatkan suntikan dana dari APBN. Sampai akhirnya sebelum diumumkannya peringkat utang Indonesia, Dahlan Iskan mendorong BUMN untuk menjual surat-surat utang (obligasi). Tidak ada langkah strategis mengatasi isu finansial dan persoalan kinerja BUMN. Dari 141 perusahaan terdapat sebanyak 38 perusahaan yang merugi atau sebesar 26,95% dari total BUMN. 

Tinjauan Historis
Sejarah berdirinya BUMN merupakan tinjauan yang cukup panjang dan tidak bisa dilepaskan dari sejarah cita-cita revolusi. Paska Proklamasi Kemerdekaan RI tahun 1945, pemerintah Indonesia praktis tidak memiliki apapun yang dapat digunakan untuk mewujudkan amanat konstitusi. Agresi Militer I dan II menguras cukup banyak sumberdaya, sehingga pemerintah republik kesulitan untuk mewujudkan amanat pada pasal 33 UUD 1945. Di sinilah kemudian Presiden Soekarno merealisasikan tindakan untuk menasionalisasikan sejumlah besar perusahaan milik asing (Belanda) untuk dijadikan perusahaan milik negara. Misal saja yang sekarang ini menjadi Garuda Indonesia Airways, Pertamina, Telkom, PT Pos Indonesia, PT KAI, PLN, rumah sakit, industri perbankan, industri pengolahan, dan masih banyak lagi perusahaan-perusahaan asing yang telah berganti kepemilikan. Tidak semua BUMN adalah hasil nasionalisasi ketika itu. Beberapa BUMN dibangun berdasarkan swadaya individu yang disokong oleh pemerintah seperti kemunculan IPTN. 

Tidak sederhana implikasi yang harus diterima oleh bangsa Indonesia akibat nasionalisasi aset milik pemerintah kerajaan Belanda. Melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tanggal 23 Agustus 1949, Indonesia harus dipaksa untuk mengakui seluruh kerugian kerajaan Belanda termasuk melimpahkan seluruh tanggungan utang pemerintah Hindia Belanda. Ketersediaan sumberdaya manusia masih sangat terbatas di masa itu. Pihak kerajaan Belanda menarik seluruh konsultan dan ahli teknisnya yang semula bekerja mengelola perusahaan-perusahaan yang dinasionalisasikan oleh pemerintah Indonesia. Para founding fathers tentunya tidak berpikir mengenai untung atau rugi, karena sejak awal dilakukan nasionalisasi tersebut bertujuan untuk mewujudkan amanat konstitusi pada Pasal 33 UUD 1945. Secara bertahap pula, pemerintah Indonesia mempersiapkan pengembangan sumberdaya manusia agar nantinya mampu secara optimal mengelola perusahaan-perusahaan milik negara.

Titik balik perkembangan historis Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sesungguhnya baru dimulai pada tahun 1969. Semakin masuknya pengaruh liberalisasi ke dalam kebijakan perekonomian dan pembangunan mendorong pemerintah Orde Baru (Orba) menerbitkan UU No 9 Tahun 1969 Tentang Bentuk Badan Usaha Negara. Pemerintah memperkenalkan asas pengelolaan BUMN yang dikenal dengan istilah dekonsentrasi, debirokrasi, dan desentralisasi. Dibukalah kesempatan bagi pihak swasta untuk turut terlibat ke dalam proses pembangunan yang dikelola melalui BUMN. Dari undang-undang tersebut muncul 3 istilah baru yang dikenalkan terhadap BUMN, yaitu:
1. Perusahaan Jawatan (Perjan)
2. Perusahaan Umum (Perum)
3. Perusahaan Perseroan (Persero).
Pemberian nama badan usaha tersebut dimaksudkan sebagai wujud tata kelola BUMN yang diterapkan oleh pemerintah. Tujuannya tidak lain untuk mendorong BUMN agar dapat memberikan kontribusi positif, yaitu sumber pembiayaan APBN. Pada masa inilah sesungguhnya arah pengelolaan BUMN telah mengalami pergeseran.

Istilah privatisasi mulai diperkenalkan seiring dengan mulai diperkenalkannya konsep perekonomian global atau disebut globalisasi di awal dekade 1990an. Privatisasi adalah mengubah pola pengelolaan BUMN yang semula sepenuhnya dikuasai oleh pemerintah menjadi pengelolaan terbuka. Dalam hal ini, pihak swasta manapun dapat turut andil dalam pengelolaan dan tidak terbatas pada kerjasama antar korporasi. Wacana privatisasi bersamaan diperkenalkan pula dengan wacana swastanisasi BUMN. Di sinilah sesungguhnya menjadi titik balik dimulainya penjualan aset-aset BUMN. 

Paska krisis 1998, pihak IMF yang selama ini berperan sebagai konsultan pengelolaan keuangan mendesak agar Indonesia merencanakan roadmap melakukan penjualan BUMN. Tujuannya untuk mengurangi beban anggaran dalam APBN yang terus membengkak. Ditambahkan lagi krisis moneter 1998 berdampak menciptakan biaya pemulihan (recovery) yang cukup besar, sehingga memaksa pemerintah mengambil tindakan strategis dalam jangka pendek. Privatisasi besar-besaran pun mulai dilakukan sejak tahun 2001. Salah satunya yang kemudian menjadi pergunjingan nasional adalah dijualnya aset telekomunikasi, yaitu Indosat. Penjualan aset Indosat menjadi batu sandungan politik bagi Megawati Soekarnoputri dari lawan-lawan politiknya di 2004 dan 2009. 

Tinjauan Permasalahan
Jakarta Lloyd merupakan salah satu BUMN yang dianggap sering merugi. Perusahaan negara dengan status persero tersebut merupakan perusahaan jasa angkutan peti kemas. Tidak sedikit kejadian kurang menyenangkan terdengar dari persero ini. Mulai dari kasus pembayaran gaji karyawan yang sering terlambat hingga ketidakmampuannya menebus kapal yang ditahan di Singapura. Tentunya yang menjadi pertanyaan, bagaimana mungkin perusahaan yang bergerak di bidang maritim tersebut dapat hidup di ujung tanduk di negeri sendiri yang didominasi oleh lautan? 

Siapa yang sekiranya lebih kaya akan migas, Malaysia ataukah Indonesia? Tentu saja pertanyaan tersebut dapat dengan mudah dijawab. Mari kita lihat suatu perbandingan riil capaian atas laba bersih antara Pertamina (persero) dan Petronas. Setiap tahunnya, Pertamina setidaknya mampu menghasilkan laba bersih sebesar Rp 22 triliun atau tidak lebih dari Rp 24 triliun. Bandingkan dengan Petronas yang mampu meraup laba bersih hingga di atas Rp 200 triliun per tahun. Malaysia sendiri masih menerapkan BBM bersubsidi seperti yang disediakan pula oleh Pertamina. Petronas bukan saja mampu membangun menara kembar yang sering dikunjungi oleh orang Indonesia (turis). Mereka pun sudah menjadi langganan tetap sponsor dalam ajang balap otomotif paling bergengsi seperti Formula One dan GPMotor. 

Sejak lama, permasalahan fundamental di dalam BUMN tidak pernah diidentifikasikan secara transparan. Selalu saja menggunakan dalih pengelolaan yang tidak efektif dan menudingnya membebani APBN. Masing-masing BUMN sebenarnya memiliki latar belakang permasalahan yang bervariasi. Namun, pokok permasalahan yang sekaligus menjadi akar dari permasalahannya justru tidak berbeda. 

Sejak dekade 1980an, pemerintah telah mengurangi berbagai proteksi atas beberapa BUMN yang sebelumnya sempat diberikan hak monopoli. BUMN tidak lagi memiliki hak untuk menguasai cabang-cabang ekonomi yang menguasai hajat hidup orang banyak. Mereka yang masih menjadi pelaku tunggal diwajibkan untuk melakukan kemitraan dengan pihak swasta, baik swasta dalam negeri maupun luar negeri. Hanya terdapat beberapa di antaranya yang masih menjadi pelaku tunggal, seperti PT KAI. Beberapa monopoli sebenarnya masih ada, seperti monopoli sambungan telepon dan monopoli penguasaan akses interkoneksi yang dikuasai oleh Telkom. Namun, dibukanya pintu persaingan maupun kemitraan tidak membuat BUMN semakin menjadi lebih baik.

Menteri BUMN, Dahlan Iskan belum lama setelah dilantik pernah sesumbar akan menghilangkan intervensi politik dari parpol ke dalam BUMN. Intervensi seperti apa tidak pernah dijelaskan detailnya. Apakah intervensi politik menjadi sumber penyebab masalah di BUMN? Terlalu naif apabila hanya menyebutkan pada intervensi politik dari parpol. Intervensi itu memang ada, akan tetapi bukan semata berasal dari parpol dan bukan pula satu-satunya sumber permasalahan BUMN.

Di tahun 1992, Cacuk Sudarijanto (alm) dipecat dari jabatannya Dirut Telkom. Pangkal persoalan yang dituduhkan oleh pemerintah apabila Cacuk dianggap telah melanggar prosedur tender Gelombang Mikro Digital (GMD) di PT Telkom (Majalah Tempo, 17 Oktober 1992). Cacuk mengambil langkah memenangkan secara sepiihak pihak TRT (perusahaan dibawah naungan Phillips, Belanda). Sementara itu, peserta tender lainnya, yaitu Alcatel (Perancis) sudah bermitra terlebih dahulu dengan Electrindo Nusantara (Bimantara). Tentu saja keputusan Cacuk tersebut tidak disukai oleh Soeharto dan langsung memutuskan pergantian dirut. Apalagi TRT belum memiliki mitra yang jelas dan tentunya pula tidak akan bermitra dengan perusahaan-perusahaan milik keluarga penguasa.

Ada dua perusahaan besar milik negara yang bergerak di bidang kemaritiman, yaitu PT PAL dan PT Jakarta Llyod. PT PAL memiliki bisnis membangun kapal laut, seperti kapal peti kemas, kapal penumpang, ferry, kapal motor sedang, kapal perang, dan berbagai jenis kapal yang saat ini telah mengarungi samudera. Adapun untuk PT Jakarta Llyod menangani pengankutan peti kemas di wilayah perairan NKRI maupun lintas negara. PT Jakarta Lloyd yang paling sering terdengar berita kurang menyenangkan. PT PAL sendiri mengakui masih menunggu suntikan dana dari pemerintah. Tentunya akan menjadi pertanyaan bagaimana suatu perusahaan yang hidup di negara dengan karakter maritim kesulitan untuk bertahan. 

Jika kita perhatikan dengan seksama di sektor migas, ada berapa banyak kilang eksplorasi migas yang dimiliki oleh Pertamina? Sektor migas saat ini sudah didominasi eksplorasinya oleh korporasi migas dari asing. Blok Cepu itu saja misalnya yang sebenarnya bisa dikelola oleh Pertamina malah diserahkan kepada Exxon Mobile (Amerika). Di antara negara Asia, hanya Indonesia satu-satunya negara yang pertama kali memiliki perusahaan minyak. Realitanya sampai saat ini pemerintah masih harus bermitra dengan perusahaan minyak milik asing untuk mengeksplorasi minyak maupun gas alam. Hampir 90% pengelolaan minyak di dalam negeri sudah dikuasai oleh asing. 

Akar persoalan di dalam pengelolaan BUMN sebenarnya cukup sederhana, yaitu bersumber dari dua masalah fundamental. Pertama, merebaknya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dalam pengelolaan BUMN yang sudah terjadi sejak masa Orba. Jika Dahlan Iskan katakan intervensi parpol, maka intervensi yang sesungguhnya berasal dari kekuasaan dan oligarkinya. Istilah mafia di dalam mafia sulit dibuktikan, akan tetapi nyata terdapat di seluruh pengelolaan BUMN. Sumber permasalahan kedua, yaitu adanya keterikatan ‘samar’ dengan pihak asing yang mampu untuk mempengaruhi jalannya kebijakan ekonomi dan pembangunan. Privatiasasi tidak lain merupakan desakan dari IMF yang selanjutnya menjadi agenda pembangunan nasional. Tentu saja, ide/gagasan dari IMF memiliki kepentingan ganda, terutama kepentingan untuk mengatur iklim politik di dalam negeri. 

Untung Atau Rugi? Quo Vadis!
Privatisasi telah berjalan hampir 20 tahun lamanya. Persoalan pengelolaan BUMN masih saja tersandung pada kinerja BUMN melalui indikator laporan keuangan. Dari persepsi tersebut kemudian diarahkan pada perspektif manfaat BUMN sebagai salah satu penopang dalam pos sumber pembiayaan dalam APBN. Untung ataupun rugi dari laporan keuangan BUMN akan menentukan keputusan dalam penyusunan APBN yang bertujuan untuk mendorong dinamika positif dari perekonomian nasional dan sumber pendanaan untuk pembangunan nasional. 

Isu BUMN yang terus merugi kemudian terus bergulir hingga pada opsi kebijakan untuk menutup BUMN yang merugi. Alasannya, BUMN tersebut dianggap hanya akan membebani APBN. Salah satu BUMN strategis yang diisukan untuk ditutup adalah PT Merpati Nusantara, yaitu perusahaan penerbangan komersil yang melayani rute penerbangan domestik, terutama rute ke wilayah pelosok. Sejak 2001, jumlah BUMN yang merugi terus mengalami peningkatan. Keputusan pemerintah pun nampak seolah hendak menjaga citra politik, sehingga tidak memperhatikan pertimbangan finansial maupun perekonomian. Pemerintah sendiri tidak pernah secara transparan membuka permasalahan di dalam BUMN sendiri. Sesuatu yang sesungguhnya sudah menjadi semacam rahasia umum.

Idealnya, BUMN memang seharunya memberikan manfaat (benefit) bukan dalam arti sekedar keuntungan berupa laba finansial. Pemerintah akan memperoleh bagian laba BUMN yang berasal dari pembayaran dividen dan atau pembayaran pajak. Idealnya pula, BUMN dapat pula menjadi salah satu motor penggerak pertumbuhan ekonomi. Pemerintah dapat memanfaatkan BUMN untuk mengendalikan perekonomian nasional, seperti mengendalikan persaingan, fungsi pengendali perilaku ekonomi, dan sebagai pendukung untuk menghadapi persaingan global.

Masalah untung atau rugi sesungguhnya harus dikembalikan pada fundamen dibentuknya BUMN, yaitu untuk memenuhi amanat konstitusi pada Pasal 33 UUD 1945. Sebagian besar BUMN saat ini sudah mengimplementasikan model swastanisasi, yaitu pola pengelolaan usaha secara profesional seperti yang kebanyakan terdapat pada korporasi milik swasta. Penutupan BUMN bukan solusi yang tepat, karena nantinya akan diikuti dengan opsi penutupan BUMN lainnya. Jika keputusan penutupan BUMN harus diambil, maka langkah yang perlu dipertimbangkan adalah melakukan pengalihan aset dan atau melakukan penggabungan (merger) dengan BUMN lainnya. Opsi akuisisi oleh BUMN lainnya dapat pula diterapkan yang nantinya akan diarahkan pada program untuk pengalihan atau pengefektifan aset. Hal ini dapat dilakukan pada BUMN yang perannya sudah cukup banyak diisi oleh perusahaan swasta dan pemerintah masih memiliki opsi untuk melakukan pengendalian perilaku usaha.

IMAGE


Jika dilihat pada statistik laba-rugi di atas, terlihat sebagian besar BUMN menghasilkan laba dari periode 2005-2009. Perolehan total laba dari BUMN yang menghasilkan laba terus meningkat, sekalipun memiliki kecenderungan mengalami penurunan, yaitu dari sebesar 61,47% pada tahun 2006 menjadi 13,42% di tahun 2009. Total rugi dari BUMN yang merugi paling tinggi terjadi pada tahun 2008, yaitu sekitar hampir Rp 14 triliun. Rata-rata total kerugian masih di bawah Rp 10 triliun per tahunnya. Jumlah BUMN yang merugi cenderung menurun, yaitu dari sebanyak 36 BUMN pada tahun 2005 menjadi 24 BUMN pada tahun 2009. Kembali pada opsi untuk melakukan pengalihan aset dengan melakukan tindakan merger ataupun akuisisi oleh BUMN lainnya. 

Total saat ini terdapat sebanyak 141 BUMN. Tentunya akan semakin tidak mudah untuk mengontrol keseluruhan perusahaan yang berstatus milik negara. Sekalipun demikian, sebagian besar BUMN tersebut memiliki peran yang cukup strategis. Namun, pemerintah harus melepas beberapa BUMN yang perannya sudah banyak diisi oleh korporasi milik swasta dan fungsinya sebagai alat kontrol perekonomian hanyalah opsional. Disamping itu, langkah berani harus dilakukan untuk membersihkan mafia-mafia yang bersarang di dalam BUMN itu sendiri, termasuk pemersihan dari unsur KKN.
Berbicara tentang Badan Usaha Milik Negara, tentu saja kita harus melihat sekilas perkembangan sejarahnya. Organisasi Pemerintah yang memiliki Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi) melaksanakan pembinaan terhadap Perusahaan Negara/Badan Usaha Milik Negara di Republik Indonesia telah ada sejak tahun 1973. Awalnya, organisasi ini merupakan bagian dari unit kerja di lingkungan Departemen Keuangan Republik Indonesia sampai 1998. Mengingat peran, fungsi dan kontribusi BUMN terhadap keuangan negara sangat signifikan, maka sejak tahun 1998, pemerintah Republik Indonesia mengubah bentuk organisasi pembina dan pengelola BUMN menjadi setingkat Kementerian. Awal dari perubahan bentuk organisasi tersebut terjadi di masa pemerintahan Kabinet Pembangunan VII, dengan nama Kementerian Negara Pendayagunaan BUMN/Kepala Badan Pembinaan BUMN. Menteri pertama yang bertanggung jawab atas pendayagunaan BUMN tersebut adalah Bapak Tanri Abeng. Pada masa ini sempat digagas tentang BUMN Incorporated, sebuah bangun organisasi BUMN berbentuk super holding[1].
Jika diibaratkan umur manusia, memasuki umur tiga puluh tahun merupakan masa keemasan dimana puncak produktifitas memasuki titik optimumnya. Namun, menilik kinerja BUMN Indonesia di tingkat global saat ini, tidak ada satupun perusahaan BUMN Indonesia yang masuk ke dalam 500 besar perusahaan terkaya di dunia, sementara perusahaan BUMN asal Malaysia (Petronas), SIngapura (SingTel), dan Thailand (PTT PCL), bisa masuk ke jajaran 200 terbaik[2]. Kita sepatutnya memberikan apresiasi kepada enam BUMN yang masuk dalam Forbes Global 2000 tahun 2012, yaitu BRI, Mandiri, Telkom, BNI, PGN dan Semen Gresik. Prestasi ini tentunya masih tertinggal dibandingkan dengan BUMN Negara tetangga ataupun perusahaan swasta yang beroperasi di Indonesia. Salah satu permasalahan yang menerpa BUMN terkait tidak optimalnya kinerja BUMN Indonesia salah satunya adalah budaya korporasi dan kepemimpinan. Dengan tidak mengesampingkan permasalahan lainnya, kedua hal tersebut perlu mendapatkan perhatian untuk mengoptimalkan kinerja BUMN. Salah satu solusinya yaitu melakukan restrukturisasi. Restrukturisasi dilakukan dengan maksud untuk menyehatkan BUMN agar dapat beroperasi secara efisien, tranparan dan professional. Program restrukturisasi bertujuan untuk meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memberikan manfaat berupa dividen dan pajak kepada Negara, menghasilkan produk dan layanan dengan harga yang kompetitif kepada konsumen[3].
Budaya birokrasi dan kepemimpinan merupakan dua hal yang saling terkait. Budaya korporasi yang njelimet, tidak efisien, serta pengambilan keputusan strategis yang birokratis membuat sebuah BUMN tidak bisa “berlari” kencang. Para direksi BUMN, termasuk direktur utamanya, hari itu mengenakan baju yang biasa dipakai pegawai golongan terendah di masing-masing BUMN. Ini sebuah simbol bahwa direksi BUMN harus siap meninggalkan kemewahan yang berlebihan mengingat BUMN harus lebih efisien, bersih, dan menjadi contoh untuk lokomotif pertumbuhan[4]. Kemudian contoh lain adalah mengadakan rapat yang placeless. Pengambilan keputusan pun dapat dilakukan dengan cepat dan costless karena diadakan lewat media Blackberry Messenger! Para petinggi BUMN kurang mampu berinovasi dan keluar dari pakem yang ada. Tradisi lama tetap dipertahankan yang berakibat pada rutinitas monoton yang dilakukan sampai level pegawai paling rendah, menyebabkan tidak optimalnya kinerja BUMN.
Terkait dengan kepemimpinan yang dapat mengubah situasi suatu BUMN, contoh sederhana yang dapat kita ambil adalah maskapai penerbangan Garuda Indonesia. Sebelum ditangani oleh Emirsyah Satar, perusahaan tersebut merugi besar. Namun, terhitung delapan tahun sejak mengemban amanah menjadi Direktur Utama Garuda, secara mengejutkan, saat ini perusahan tersebut sudah lebih besar dari Malaysia Airlines (MAS) dan Thai Airways, Thailand. Bahkan Garuda Indonesia sudah lebih besar dari Air France! Nilai Garuda kini sudah mencapai Rp 18 triliun. Sudah sekitar Rp 1 triliun lebih besar dari MAS dan Thai Airways[5]. Pemimpin yang visoner, yang mampu menyelaraskan visi, misi, tujuan strategi dan mempunyai komitmen yang tinggi terhadap kebijakan perusahaan. Pemimpin yang baik juga harus mampu berkomunikasi dengan karyawan di tingkat manapun. Komunikasi yang berjalan dengan baik akan membuat revolusi budaya birokrasi yang njelimetdapat diatasi. Komunikasi yang baik juga harus dilakukan kepada masyarakat sebagai salah satu stakeholder oleh direktur BUMN apabila terkait dengan corporate action. Satu contoh kurang mulusnya komunikasi (jika tidak ingin disebut “gagal”) adalah keributan pedagang kaki lima dengan aparat keamanan di beberapa stasiun di Jabotedabek beberapa waktu lalu.
Paparan menandakan bahwa langkah-langkah restrukturisasi yang semakin terarah dan efektif terhadap orientasi dan fungsi BUMN sudah terlihat. Langkah restrukturisasi ini dapat meliputi restrukturisasi manajemen, organisasi, operasi dan sistem prosedur. Selain itu, pemantapan penerapan prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG), yaitu transparansi, akuntabilitas, keadilan dan responsibilitas pada pengelolaan BUMN PSO maupun BUMN komersial juga semakin terlihat. Langkah pemetakan BUMN yang ada ke dalam kelompok BUMN public service obligation (PSO) dan kelompok BUMN komersial (business oriented), sehingga kinerja BUMN tersebut dapat meningkat dan pengalokasian anggaran pemerintah akan semakin efisien dan efektif, serta kontribusi BUMN dapat meningkat (BAPPENAS, 2004)[6].
Suatu inovasi yang telah dilakukan adalah merekrut generasi muda untuk menduduki posisi tertinggi di beberapa BUMN. Kenaikan upah menjadi salah satu pintu masuk untuk menyeleksi dan menyaring tenaga kerja berkualitas.[7] Namun, mengubah mindset generasi muda (baca: mahasiswa) saat ini  sebagai calon penerus Chief Executive Officer (CEO) BUMN di negeri ini tidak mudah. Di berbagai kampus tentu mahasiswanya dibekali dengan ilmu kepemimpinan maupun kewirausahaan yang cukup sebagai bekal nantinya. Di samping itu, tidak ada salahnya jika BUMN menjemput bola untuk merekrut potensi-potensi generasi muda langsung ke kampus. Alangkah sayangnya jika potensi ini terlepas dan malah “diperas” oleh perusahaan multinasional asing. Seratus empat puluh satu BUMN bukanlah angka yang kecil. Pasti ada kesempatan. Pertanyaannya, maukah kita, mahasiswa, memanfaatkan kesempatan itu?
Depok, 10 Maret 2013
Ditulis oleh Elsa Ryan R, mahasiswa Ilmu Ekonomi FEUI


[1] Sejarah Kementerian BUMN, http://www.bumn.go.id/tentang-kami-bumn/sejarah-perkembangan/, diakses tangal 10 Maret 2013 pukul 15.50
[2] “Forbes Global 2000″, http://www.forbes.com/global2000/, diakses tangal 10 Maret 2013 pukul 16.00
[3] http://www.sohibuliman.net/index.php?option=com_content&view=article&id=322:solusi-dalam-mengatasi-permasalahan-bumn&catid=37:artikel&Itemid=62
[4] http://www.bumn.go.id/99463/catatan-menteri/manufacturing-hope-47-menggerakkan-tangan-kiri-bumn-22-kali-2/
[5] http://www.bumn.go.id/84867/catatan-menteri/manufacturing-hope-30-garuda-yang-kalahkan-mas-dan-batantek-yang-mengasia/
[6] http://www.bappenas.go.id/get-file-server/node/827/
[7] http://www.bumn.go.id/ptpn5/galeri/artikel/dahlan-percaya-kemampuan-generasi-muda/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar